.

hendiindraprasetya.blogspot.com | hendiindraprasetya.blogspot.com | hendiindraprasetya.blogspot.com | hendiindraprasetya.blogspot.com

Friday, 2 November 2018

ESAY HENDI



PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN APLIKASI TEORI DAN MATERI DALAM USALAN TOPIK PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING
HUKUM AGRARIA
Oleh : Hendi Indra Prasetya
NIM : 20170610010
Sehubungan dengan kompleksnya mata kuliahhukum agraria sebagaimana harus dipelajari atau diperoleh melalui proses belajar yang berlangsung secara kondusif sehingga mahasiswa mampu mengembangkan kemampuan berpikir kritis dalam melihat fenomena agraria yang terjadi pada kehidupan sehari-hari berdasarkan sudut pandang agraria. Untuk mengetahui apakah mahasiswa tersebut telah menguasai materi pembelajaran yang telah diajarkan adalah dengan meningkatnya hasil belajar mahasiswa. Akan tetapi, fakta dilapangan menunjukkan bahwa hasil belajar mahasiswa pada mata pelajaran agraria masih rendah. Proses pembelajarannya haruslah melibatkan proses mental mahasiswa secara maksimal, bukan hanya menuntut mahasiswa sekedar mendengar, mencatat, akan tetapi juga menghendaki aktivitas mahasiswa dalam proses berfikir. Karena pembelajaran hukum agraria dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan pemahaman terhadap fenomena agraria pada kehidupan sehari-hari. Selain itu, materi pelajaran hukum agraria juga mencakup konsep - konsep dasar, pendekatan, metode, dan teknik analisis dalam pengkajian terhadap berbagai fenomena agraria dan permasalahan yang ditemui dalam kehidupan nyata di masyarakat.
Fakta menunjukkan hasil belajar mahasiswa pada mata kuliah agraria masih rendah sehingga salah satu jalan keluarnya adalah merubah model pembelajarannya dengan menerapkan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) pada mata kuliah hukum agraria.  Model pembelajaran Problem Based Learning atau pembelajaran berbasis masalah merupakan model pembelajaran yang berfokus kepada mahasiswa atau student center. Model pembelajaran berbasis masalah tersebut bercirikhaskan mengenai masalah-masalah pada kehidupan nyata dan merupakan pembelajaran yang menekankan kepada aktivitas penyelidikan dalam memecahkan masalah tersebut. Dalam hal ini diharapkan, mahasiswa dapat mengembangkan kemampuan berpikirnya karena ia akan memperoleh informasi dari berbagai sumber belajar mengenai materi yang sedang dipelajari. Selain itu, model pembelajaran berbasis masalah ini membagi mahasiswa ke dalam kelompok-kelompok dengan permasalahan yang berbeda-beda pada masing-masing kelompok tersebut. Pembagian kelompok juga dilakukan secara heterogen sehingga diharapkan dapat memotivasi mahasiswa untuk berinteraksi dengan mahasiswa lain walaupun bukan per groupnya, meningkatkan partisipasi, saling membantu, dan saling bekerjasama dalam berdiskusi memecahkan permasalahan yang mereka dapatkan serta berperan aktif di dalam pembelajaran hukum agraria.
Pengaturan hukum agraria pada masa Indonesia Kuno,Seperti apa yang kita ketahui model pembelajaran yang diterapkan dalam kelas menggunakan Mind Mapping, sangat bisa membantu mahasiswa dalam mengolah suatu materi yang sedang berlangsung didalam agraria.Mahasiswa dituntut untuk menguasai permasalahan agraria disajikan dalam bentuk skema yang memiliki hubungan sebab akibat dan saling berpengaruh. Metode belajar dengan mind mapping ini mampu meningkatkan analisis dan berfikir kritis siswa sehingga memahami sesuatu secara keseluruhan dari awal sampai akhir.
 tahu bahwa Sebelum diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), pendahulu kita yang hidup di zaman kerajaan sudah mengenal mengenai hak milik atas tanah. Perlu kita dapat  diuraikan dengan singkat mengenai hal tersebut yang mungkin dapat digunakan salah satunya sebagai pengantar apabila ada yang ingin melakukan analisis mengenai sejarah hukum hak milik atas tanah di Indonesia.

1)      Masa Masyarakat Adat
Didalam Masyarakat adat bahwasannya dalam kepemilikan tanah di berikan sepenuhnya oleh masyarakat adat  tersebut pada suatu wilayah tersebut sedangkan Ketua adat hanya berwenang untuk mengatur atas penggunaan tanah tersebut.
Menanggapi masyarakat hukum adat mempunyai salah satu hak yang terpenting terkait dengan ruang hidupnya yaitu “Hak Ulayat”, sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 UUPA
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.
Sedangkan luas tanah ulayat tidak mampu didefinisikan secara pasti namun kebiasaan masyarakat adat utuk menentukan luas tanah ulayat dengan cara seluas mata memeamndang adalah milik masyarakat adat tersebut. Tanah ulayat merupakan tanah milik adat (masyarakat adat) dengan pemisahan antara tanah dengan bangunan yang di atasnya (pemisahan horizontal). Tiap daerah memang memiliki perbedaan tatacara kepemilikan tanah ulayat namun jika di gambarkan secara umum, ketika salah satu individu pada
masyarakat adat ingin membuka lahan baru maka dia harus mlakukan mekanisme :
1.                   Mabali. Mubali pemberian tanda batas tanah oleh individu anggota masyarat adat (seperti rotan di atas pohon).
2.                   Musyawarah dengan ketua adat. Meminta ijin pada ketua adat untuk membuka lahan yang telah ditandai.
3.                   Membuka Tanah. Membuka tanah dengan komunal (bergotongroyong / bersama-sama)
4.                   Mengusahakan (Memperdayakan) yaitu menanami lahan, membangun rumah, berburu, dll
5.                   Timbul Hak Milik. Timbulnya hak milik tidak berarti mutlak kepemilikan individu anggota masyarakat adat.
Untuk masyarakat asli untuk menggunakan tanah
1.     Meminta izin kepada Ketua adat .
2.     membuat pernyataan kepada khalayak umum bahwa tanah tsb tanah miliknya.
Dari hal tersebut wilayah lain yang ingin menggunnakan tanah dari suatu wilayah yang bukan sebagai anggota   masyarakat tersebut :
1.     Harus Izin kepada kepala adat
2.     Harus berdekatan dengan tempat tinggalnya ( agar mereka mampu bekerja dengan baik)
3.     Harus memberikan 10 persen Upeti (Uang Sewa)
4.     Di beri waktu 3 kali panen ( max) (karena akan ditakutkan akan berpindah hak milik)
Digram yang terbentuk bisa menjadi alur berfikir yang efektif dan bermanfaat untuk hal lain. Misalnya dalam pembentukan kelompok :
.2)     Masa kerajaan (Sistem Feodal)
            Pada kelompok ini dikhususkan untuk memahami bagaimana pada  masa kerajaan :
1)      Petani              : 1. Harus membagi sebagian dari hasil pertaniann
 2)     Rakyat memberikan tenaga untuk menggarap tanah.
3)      Pengusaha       : 1. Harus mempunyai perkebunan yang luas
                          2. Pengusaha menyewakan hasil sewanya kepada petani
                          3. Pengusaha peminta 1/3 dari tanah yang disewa.
                          4. Petani harus mengelola tanah tsb.
6.       Penagih dari raja (Bekel) mendapat 1/5 dari hasilnya.
Mahasiswa juga turut aktif dalam memperdalam bagaimana penerapan suatu konsep Mind Mapping, dalam ranah penyajian data :
1)      Grand Sultan (Tanah yang diberikan kepada  Keluarga)
2)      Grand Controlur (Tanah yang diberikan kepada masyarakat)
3)      Grand Deli (Tanah yang diberikan kepada Pengusaha)
4)      Hak konsesi (Sewa)
a.      Hak Milik Atas Tanah Masa Kerajaan Kutai
Kerajaan Kutai (sekitar 400 M), jauh sebelum masuknya orang-orang Eropa di Nusantara, sebenarnya pengaturan dalam masalah tanah sudah dikenal dalam sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan terdahulu. Pada masa jayanya kerajaan Kutai pernah dikenal adanya suatu ketentuan yang mengatur tentang acara penggunaan, pengolahan, pemeliharaan, jual beli, sistem pemilikan, tanah terlantar, dan tanah-tanah kehutanan. Adapun ketentuan-ketentuan tersebut sebagai berikut :
1.                   Pada masa kerajaan Kutai dikenal dengan Kitab Undang-Undang Brajananti atau Brajaniti.
2.                   Pada masa kerajaan Banjar dikenal dengan Kitab Undang-Undang Sultan Adam dibuat sekitar tahun 1251.
b.      Hak Milik Atas Tanah Masa Kerajaan Sriwijaya
Pengaturan sistem pertanahan pada masa kerajaan Sriwijaya (693-1400) dikenal dengan nama kitab undang-undang Simbur Cahaya yang merupakan peninggalan kitab undang-undang jaman raja-raja Sriwijaya. Prinsip pemilikan hak atas tanah, raja dianggap sebagai pemilik, sedangkan rakyat sebagai pemakai (penggarap) yang harus membayar upeti kepada raja sebagai pemilik.
c.       Hak Milik Atas Tanah Masa Kerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit (1293-1525) merupakan suatu kerajaan yang menguasai seluruh nusantara dan memiliki ketentuan yang paling lengkap tentang pengaturan kehidupan masyarakat. Tanah dalam kehidupan rakyat majapahit memegang peranan penting karena itu dibuat undang-undang tentang hak memakai tanah yang disebut Pratigundala. Pratigundala didapati dalam negarakertagama pupuh 88/3 baris 4 hal 37. Undang-undang tersebut disusun dengan latar belakang bahwa kerajaan Majapahit merupakan suatu kerajaan yang rakyatnya sebagian besar hidup dari hasil-hasil pertanian. Dalam kitab undang-undang yang disebut agama, terdapat lima pasal diantara 271 pasalnya yang mengatur masalah tanah. Tanah menurut undang-undang agama dalam kerajaan Majapahit adalah milik raja. Rakyat hanya mempunyai hak untuk menggarap dan memungut hasilnya tetapi tidak memiliki tanah tersebut, hak milik atas tanah tetap ada pada raja.[1]
Dari beberapa teori pendukung mengenai masa Pemerintahan Hindia Belanda,  secara historis, ketentuan hukum agraria pada masa kolonial mulai dijalankan sejak berdiri dan berkuasanya VOC (Vernigde Oost Indische Compagnie) hingga masa penjajahan Jepang. Pada masa VOC terdapat sejumlah kebijakan di bidang pertanian yang ujung-ujungnya menindas rakyat Indonesia. Kebijakan yang dimaksud, meliputi: 
Pertama, contingenten, dengan ketentuan bahwa pajak hasil atas tanah pertanian harus diserahkan kepada penguasa kolonial (kompeni). Petani harus menyerahkan sebgaian dari hasil pertaniannya kepada kompeni tanpa dibayar sepeser pun.
KeduaVerplichte leveranten, suatu ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan para raja tentang kewajiban meyerahkan seluruh hasil panen dengan pembayaran yang harganya juga sudah ditetapkan secara sepihak. Dengan ketentuan ini, rakyat tani benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak berkuasa atas apa yang mereka hasilkan. Dan, ketiga, roerendiensten, yakni kebijakan mengenai kerja rodi yang dibebankan kepada rakyat Indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian.
Setelah kekuasaan VOC berakhir, terjadi perubahan struktur penguasaan dan pemilikan tanah dengan penjualan tanah, hingga menimbulkan tanah partikelir sebagai akibat kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan Hindia Belanda melalui Gubernur Herman Willem Daendles (1800-1811). Kebijakan yang dikeluarkan oleh Daendles adalah menjual tanah-tanah rakyat Indonesia kepada orang-orang Cina, Arab maupun bangsa Belanda sendiri sehingga muncullah istilah tanah partikelir. Tanah partikelir merupakan tanah eigendom yang mempunyai sifat dan corak istimewa yakni adanya hak-hak pada pemiliknya yang bersifat kenegaraan yang disebut landheerlijke rechten atau hak pertuanan.
Semenjak pemerintahan kemudian beralih ke GubernurThomas Stanford Raffles pada tahun 1811. Pada masa Rafles semua tanah yang berada di bawah kekuasaan pemerintah dinyatakan sebagai eigendom government. Dengan dasar ini setiap tanah dikenakan pajak tanah atau lebih dikenal dengan kebijakan Landrent.
Analogi kebijakakn usulan materi mengenai dari hasil penelitian Rafles mengenai pemilikan tanah-tanah di daerah swapraja di Jawa.  Dia menemukan bahwa semua tanah adalah milik raja, sedangkan rakyat hanya sekedar memakai dan menggarapnya. Karena kekuasaan telah berpindah kepada Pemerintah Inggris, maka sebagai akibat hukumnya adalah pemilikan atas tanah-tanah tersebut dengan sendirinya beralih pula kepada Raja Inggris. Dengan demikian, tanah-tanah yang dikuasai dan digunakan oleh rakyat itu bukan miliknya, melainkan milik Raja Inggris. Oleh karena itu, mereka wajib memberikan pajak tanah kepada Raja Inggris, sebagaimana sebelumnya diberikan kepada raja mereka sendiri.
Pada tahun 1830, pemerintahan Hindia Belanda dipimpin oleh Gubernur Jenderal Johanes van den Bosch. Bosch menetapkan kebijakan agraria yang dikenal dengan sistem Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel. Dalam sistem tanam paksa ini petani dipaksa untuk menanam suatu jenis tanaman tertentu yang secara langsung maupun tidak lengsung dibutuhkan oleh pasar internasional pada waktu itu. Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintah kolonial tanpa mendapat imbalan apapun. Bagi rakyat yang tidak mempunyai tanah pertanian wajib menyerahkan tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa kerjanya atau 66 hari untuk waktu satu tahun.
Adanya monopoli pemerintah dengan sistem tanam paksa dalam lapangan pertanian telah membatasi modal swasta dalam lapangan pertanian besar. Di samping pada dasarnya para penguasa itu tidak mempunyai tanah sendiri yang cukup luas dengan jaminan yang kuat guna dapat mengusahakan dan mengelola tanah dengan waktu yang cukup lama. Usaha yang dilakukan oleh pengusaha swasta pada waktu itu adalah menyewa tanah dari negara. Tanah-tanah yagn biasa disewa adalah tanah-tanah negara nyang masih kosong.
Kebijakan hukum di bidang agraria di zaman Hindia Belanda yang masih dirasakan sampai sekarang pengaruhnya adalah diberlakukannya Agrarische Wet. AW ini merupakan undang-undang di negeri Belanda, yang diterbitkan pada tahun 1870. Pemberlakuan AW di Indonesia dilsinyalisasi sebagai  respon terhadap keinginan perusahaan-perusahaan asing yang bergerak dalam bidang pertanian untuk berkembang di Indonesia.
Terbentuknya AW merupakan upaya desakan dari para kalangan pengusaha di negeri Belanda yang karena keberhasilan usahanya mengalami kelebihan modal, karenanya memerlukan bidang usaha baru untuk menginvestasikannya. Dengan banyaknya persediaan tanah hutan di jawa yang belum dibuka, para pengusaha itu menuntut untuk diberikannya kesempatan membuka usaha di bidang perkebunan besar.
Terlihat jelas bahwa diberlakukannya AW bertujuan untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta agar dapat berkembang di Hindia Belanda. Selain itu, AW juga bertujuan untuk: pertama, memperhatikan perusahaan swasta yang bermodal besar dengan memberikan tanah-tanah negara dengan hak Erfacht yang berjangka waktu lama, sampai 75 tahun dan mengizinkan para pengusaha untuk menyewakan tanah adat/rakyat. Kedua, memperhatikan kepentingan rakyat asli dengan melindungi hak-hak tanah rakyat asli dan memberikan kepada rakyat asli hak tanah baru (Agrarische eigendom).  
Tujuan adanya Agrarische eigendom  sebetulnya untuk memberikan kepada orang-orang Indonesia asli dengan semata hak yang kuat, yang pasti karena terdaftar dan haknya dapat dibebani dengan hipotek. Tetapi dalam praktiknya kesempatan untuk menggantikan hak miliknya dengan menjadi Agrarische eigendom tidak banyak dipergunakan.
Untuk pelaksanaan AW tersebut, maka diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan dan keputusan, diantaranya dalam Agrarische Besluit.  Ketentuan-ketentuan AW pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam peraturan dan keputusan. Salah satu keputusan yang paling penting adalah apa yang dimuat dalam Koninklijk Besluit (KB), yang kemudian dikenal dengan nama Agrarische Besluit (AB).
AB hanya berlaku untuk Jawa dan Madura, maka apa yang dinyatakan dalam Pasal 1 AB tersebut, yang dikenal sebagai Domein Verklaring (Pernyataan Domein) semula juga berlaku untuk Jawa dan Madura saja. Tetapi kemudian pernyataan domein tersebut diberlakukan juga untuk daerah pemerintahan langsung di luar Jawa dan Madura.
Maksud dari adanya pernyataan domein itu adalah untuk memberikan ketegasan sehingga tidak ada keragu-raguan, bahwa satu-satunya penguasa yang berwenang untuk memberikan tanah-tanah kepada pihak lain adalah Pemerintah. Dengan adanya pernyataan domein, maka tanah-tanah di Hindi Belanda dibagi menjadi dua jenis, yaitu: 1) tanah negara bebas, yaitu tanah yang di atasnya tidak ada hak penduduk bumi putera. 2) tanah negara tidak bebas, yaitu tanah yang di atasnya ada hak penduduk maupun desa.
Dalam praktiknya, pernyataan domein mempunyai dua fungsi, yakni: pertama, sebagai landasan hukum bagi pemerintah kolonial untuk dapat memberikan tanah dengan hak-hak barat, misalnya hak eigendom, hak opstal, dan hak erfacht. Kedua, untuk keperluan pembuktian pemilikan, yaitu apabila negara berperkara, maka negara tidak pelu membuktikan hak eigendomnya atas tanah, tetapi piha lainlah yang wajib membuktikan haknya.
 Untuk diketahui bahwa hak rakyat Indonesia atas tanahnya adalah berdasarkan hukum adat, sedangkan dalam hukum adat tidak adak ketentuan hukum yang sama dengan Pasal 570 BW, maka dengan sekaligus semua tanah dari rakyat Indonesia termasuk menjadi tanah negara (domein negara). Yang tidak termasuk tanah negara, menurut Pemerintah Hindia Belanda, meliputi: a) tanah-tanah daerah swapraja; b) tanah-tanah yang menjadi eigendom orang lain; c) tanah-tanah partikulir; dan d) tanah-tanah eigendom agraria (Agrarische eigendom).
Selain AW, KUHPerdata yang berlaku di Indonesia merupakan KUHPerdata yang berlaku di Belanda, dengan beberapa perubahan diberlakukan di Indonesia, berdasarkan asas konkordansi. Perihal peraturan hukum yang mengatur tentang hukum agraria dalam KUHPerdata adalah Buku II KUHPerdata selama menyangkut tentang bumi, air dan ruang angkasa.
Dalam buku II KUHPerdata dijelaskan tersebut mengacu pada  terdapat beberapa jenis hak atas tanah barat yang dikenal yaitu tanah eigendom, tanah hak opstal, tanah hak erfacht, dan Tanah hak gebruis. Di samping hak atas tanah barat tersebut di atas, juga ada tanah-tanah dengan hak Indonesia, seperti tanah-tanah dengan hak adat, yang disebut tanah hak adat. Ada pula tanah-tanah dengan hak ciptaan pemerintah Hindia Belanda seperti agararische eigendomlanderijn bezitrecht. Juga dengan hak-hak ciptaan pemerintah swapraja, seperti grant sultan. Tanah-tanah dengan hak-hak adat dan hak-hak ciptaan pemerintha Hindia Belanda dan swapraja tersebut, bisa disebut tanah-tanah hak Indonesia, yang cakupannya lebih luas dari tanah-tanah hak adat.
Tanah-tanah hak barat dapat dikatakan hampir semuanya terdaftar pada Kantor Overschrijvings Ambtenar menurut Overschrijvings Ordonantie S. 1834-1827 dan dipetakan oelh Kantor Kadaster menurut peraturan-peraturan kadaster. Tanah hak barat ini tunduk pada hukum tanah barat. Artinya hak-hak dan kewajiban pemegang haknya, persyaratan bagi pemegang haknya, hal-hal mengenai tanah yang dihaki, serta  perolehannya, pembebanannya diatur menurut ketentuan-ketentuan hukum tanah barat.
Tanah-tanah hak adat hampir semuanya belum didaftar. Tanah-tanah itu tunduk pada hukum adat yang tidak tertulis. Tanah-tanah hak adat, yang terdiri atas apa yang disebut tanah ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat dan tanah perorangan, seperti hak milik adat, merupakan sebagian terbesar ranah Hindi Belanda. Untuk tanah-tanah hak ciptaan pemerintah swapraja, di daerah-daerah swpraja Sumatera Timur dipunyai dengan hak-hak ciptaan pemerintah swapraja.
Pembelajaran yang diterapkan dalam kelas menggunakan Mind Mapping, sangat bisa membantu mahasiswa dalam mengolah suatu materi yang sedang berlangsung didalam agraria.Mahasiswa dituntut untuk menguasai permasalahan agraria disajikan dalam bentuk skema yang memiliki hubungan sebab akibat dan saling berpengaruh. Metode belajar dengan mind mapping ini mampu meningkatkan analisis dan berfikir kritis siswa sehingga memahami sesuatu secara keseluruhan dari awal sampai akhir. Menurut prespektif mahasiswas teori setelah Kemerdekaan,dalam bidang keagrariaan selama masa penjajahan tersebut kita menjumpai terdapat dualisme hukum agraria yang berlaku yakni berdasarkan hukum adat yang melahirkan tanah hak milik adat, tanah ulayat, tanah yayasan, tanah golongan dan sebagainya, serta berdasarkan hukum barat (kolonial) yang melahirkan tanah hak eigendom (hak milik), tanah hak opstal, tanah hak erfpacht, tanah hakgebruik (hak pakai), dan sebagainya.[2]Terlepas dari penjajahan Jepang (1945), Indonesia mendapatkan kemerdekaannya. Para pemimpin bangsa mulai memikirkan untuk melakukan pembangunan hukum baru yang terlepas dari ketidakadilan hukum kolonial termasuk hukum agraria kolonial.
Pengaturan hukum agraria menjadi salah satu hal yang difokuskan untuk diubah dalam upaya memperbaiki tatanan pengaturan hak agraria masyarakat Indonesia dari ketidakadilan hukum kolonial. Beberapa peraturan yang dihasilkan antara lain terdapat Undang-Undang No. 28 Tahun 1956 tentang Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah-Tanah Perkebunan, Undang-Undang No. 29 Tahun 1956 tentang Peraturan-Peraturan dan Tindakan-Tindakan Mengenai Tanah-Tanah Perkebunan, Undang-Undang No. 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir, dan Undang-Undang No. 7 Tahun 1958 tentang Peralihan Tugas dan Wewenang Agraria. 
Pemerintah Indonesia pun membentuk panitia Agraria yang mengalami beberapa kali pergantian, yakni Panitia Yogya (1948), Panitia Agraria Jakarta (1951), Panitia Suwahyo (1955), Rancangan Soenarjo (1958), dan Rancangan Soedjarwo (1960). Pembentukan panitia tersebut diusung untuk menghasilkan sebuah hukum agraria yang berjiwa keindonesiaan. Setelah melalui proses selama 12 tahun, akhirnya terbitlah Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (biasa disebut UUPA) yang disahkan dan diundangkan sebagai induk dari hukum agraria Indonesia. Dengan berlakunya UUPA, berarti telah dicabut segala peraturan hukum agraria kolonial yang pernah berlaku di Indonesia, yaitu:
1.     "Agrarische Wet" (Staatsblad 1870 No. 55), sebagai yang termuat dalam pasal 51 "Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie" (Staatsblad 1925 No. 447) dan ketentuan dalam ayat-ayat lainnya dari pasal itu;
2.     "Domienverklaring" tersebut dalam pasal 1 "Agrarisch Besluit " (Staatsblad 1870 No. 118); "Algemene Domienverklaring" tersebut dalam Staatsblad 1875 No. 119A; "Domienverklaring untuk Sumatera" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1874 No. 94f; "Domeinverklaring untuk keresidenan Menado" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1877 No. 55; "Domienverklaring untuk residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1888 No.58;
3.     Koninklijk Besluit tanggal 16 April 1872 No. 29 (Staatsblad 1872 No. 117) dan peraturan pelaksanaannya;
4.     Buku ke-II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya undang-undang ini;
Salah satu dasar pertimbangan dalam merumuskan UUPA ini adalah bahwa hukum agraria tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, ketentuan dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dan Manifesto Politik Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960, yang mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong.
·       Pengertian Hak Kebendaan
·       Asas-asas Hukum Agraria
Sebagai implementasi dari ketentuan dalamPasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa negara sebagai penguasa bumi, air, dan kekayaan alam Indonesia, maka dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA telah ditentukan bahwa hak menguasai dari negara yang dimaksud adalah memberi wewenang untuk:
·       mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
·       menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; dan
·       menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
      Adapun tujuan dalam pembentukan UUPA ini dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (3), yakni bahwa wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur. Untuk menunjukkan kepemihakan terhadap rakyat dalam pengaturan UUPA ini, dapat dilihat dalam Pasal 11 dan 13. Dari berbagai ketentuan dasar tersebut, selanjutnya UUPA juga menentukan mengenai hak-hak masyarakat atas tanah yang dapat dibedakan menjadi:
·       Hak milik (Pasal 20-27)
·       Hak guna usaha (Pasal 28-34)
·       Hak guna bangunan (Pasal 35-40)
·       Hak pakai (Pasal 41-43)
·       Hak sewa untuk bangunan (Pasal 44-45)
·       Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan (Pasal 46)
·       Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara (Pasal 53) yakni hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, hak sewa tanah pertanian.
·       Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara.
      Selain hak-hak yang disebutkan tersebut,terdapat hak-hak atas bagian lain dari tanah yakni terdiri dari hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan (Pasal 47) serta hak guna ruang angkasa (Pasal 48).Dengan pemberlakuan UUPA tersebut pemerintah mulai menata pembagian dan penguasaan struktur kepemilikan tanah Indonesia karena selama masa kolonial pola kepemilikan masyarakat atas tanah sangat tidak adil dan tidak teratur. Untuk menjalankan suatu redistribusi kepemilikan tanah, pemerintah membuat sebuah Undang-Undang No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang disebut sebagai Undang-Undang Landreform Indonesia. Sejak program ini berjalan pemerintah berhasil mendistribusikan sekitar 800.000 hektar tanah kepada 850.000 kepala keluarga.[2]
      Mengingat kekhususan dari perkara-perkara yang terkait dengan program tersebut, pemerintah Soekarno membentuk badan peradilan tersendiri yaitu Pengadilan Landreform dengan dasar pembentukan Undang-Undang No.21 Tahun 1964.[3] Namun kegiatan landreform ini tidak berlangsung lama seiring bergantinya pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto pada tahun 1965.Bahkan Pengadilan Landreform pun akhirnya dihapuskan dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1970 tentang Penghapusan Pengadilan Landreform. Pemerintah baru ini mempunyai kebijakan yang sama sekali lain, sehingga untuk jangka waktu yang cukup lama UUPA masuk peti es, sedangkan kebutuhan agraria di sektor lain mendesak, maka lahirlah pada masa awal orde baru berbagai undang-undang pokok lain yang kemudian membuat tumpang tindih dan rancunya masalah pertanahan.[4]
Untuk menarik minat para investor, pemerintah mulai membuat beberapa regulasi untuk membuka peluang eksplorasi tanah dan sumber daya alam di Indonesia. Sebagai langkah awal untuk memikat investor asing, tahun 1967 Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) diberlakukan, selanjutnya lahir Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dan Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketnetuan Pokok Pertambangan serta berbagai undang-undang sektoral lain tentang minyak-gas dan pengairan.[5]
Kebijakan pemerintah orde baru ini lebih fokus hanya kepada pembangunan dengan penguasaan tanah secara besar-besaran oleh negara untuk dieksplorasi dan dieksploitasi oleh para investor yang bermodal besar,namun hak-hak dari masyarakat atas tanah jadi terlupakan. Ternyata undang-undang tersebut tidak menjadikan UUPA sebagai basisnya, regulasi-regulasi ini pun tumpang tindih dan inkonsisten satu sama lain.[6]  Dengan makin rumitnya masalah pertanahan dan makin besarnya keperluan akan ketertiban di dalam pengelolaan pertanahan, makin dirasakan keperluan akan adanya peraturan pelaksanaan UUPA yang menerapkan ketentuan lebih lanjut mengenai hak-hak atas tanah.
Sebagai hak atas tanah yang masa berlakunya terbatas untuk jangka waktu tertentu (hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai), hak-hak tersebut memerlukan kejelasan mengenai beberapa hal antara lain mengenai persyaratan perolehannya, kewenangan dan kewajiban pemegangnya, dan status tanah dan benda-benda di atasnya sesudah hak itu habis jangka waktunya. Kejelasan itu sangat diperlukan untuk memberikan beberapa kepastian hukum, baik kepada pemegang hak, kepada pemerintah sebagai pelaksana UUPA, maupun kepada pihak ketiga.[7] 
Beberapa peraturan pun mulai dibentuk untuk mengatur pelaksanaan perundang-undangan tentang pertnahan sebagai objek dasar agraria seperti Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, Peraturan Menteri Negara Agraria / BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Peraturan Menteri Negara Agraria / BPN No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Perolehan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, Peraturan BPN No. 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah, dan sebagainya. Perjalanan UUPA selanjutnya terus diiringi dengan penerbitan perundang-undangan yang merupakan perluasan dari urusan keagrariaan di Indonesia, antara lain:
Seperti halnya yang terjadi di berbagai negara mengenai perbandingan Hukum Agraria Indonesia dengan Negara Lain,
DENMARK
Di sebagian besar Daerah Denmark tanah di dunia biasanya "dimiliki" oleh beberapa manusia. Baik dengan individu atau oleh orang-orang di komunitas atau, misalnya oleh badan hukum yang dimiliki oleh pemegang saham. Latar belakang hukum untuk kepemilikan mungkin hukum adat tidak tertulis atau hukum yang diberikan oleh kepala keluarga, kepala desa/kabupaten/negara atau oleh Parlemen. Kepemilikan mungkin memberikan tepat bagi pemilik untuk mendapatkan keuntungan dari tanah (dan barang-barang nya) total atau sebagian. Pemilik menjual tanah atau bagian dari itu, menjual atau menyewakan beberapa nyata atau berwujud hak di atasnya (misalnya berburu, gravelling, pandangan dll) dan hipotek. Tindakan mungkin dibatasi sampai batas tertentu mengenai minat masyarakat.
Tradisi dan aturan jual beli tanah mungkin disebabkan oleh alam, struktur industri, standar sosial, dan kepadatan penduduk. Namun, di sebagian besar negara maju pasar yang disebut gratis untuk tanah tergantung pada ketat peraturan dan pembatasan pada bagaimana tanah harus digunakan. Lebih lanjut tergantung pada masyarakat tersedia informasi dari kadaster, Registry Tanah, informasi penilaian, informasi mengenai bangunan dan lansekap dan perbankan berjalan mulus dan pembiayaan systemPasar tanah di Denmark
Daerah Denmark adalah 43.080 km2 dengan jumlah penduduk 5,3 juta jiwa. Sekitar 65 per persen dari wilayah diternakkan dan 12 persen ditutupi dengan hutan. Daerah yang tersisa dari 23 persen digunakan untuk jalan dan daerah perkotaan. Beberapa 48 persen dari Denmark tinggal di kota atau permukiman perkotaan dan kepadatan penduduk rata-rata 125 orang per km2.
Para peserta di pasar membutuhkan akses publik terhadap informasi dari kadaster dan Tanah Buku (paket nomor unik, tata batas, nama pemilik, alamat, ukuran daerah, hipotek, perbuatan, easements dan mantan harga jual). Juga, masyarakat dan dapat diandalkan informasi mengenai bangunan dan tempat tinggal yang penting serta publik yang tidak valid informasi tentang penilaian tanah. Akhirnya akses ke modal dan perbankan berjalan mulus dan sistem pembiayaan yang diperlukan. Hampir semua informasi ofthis kini dalam bentuk digital. Bersama instrumen ini memberikan fakta dan kejelasan bagi pembeli serta penjual dan seharusnya untuk mencegah perselisihan antara kedua belah pihak. Karena itu seharusnya bahwa sejumlah besar kasus dihindari untuk pengadilanProperti yang ada dan kepemilikan dapat dibeli dan dijual bebas dengan beberapa pengecualian (khusus ketentuan untuk cottage musim panas dan penduduk Denmark rokok, pembatasan pembelian lahan pertanian dll), sedangkan penjualan bagian properti dan kepemilikan dikendalikan oleh ketentuan Undang-Undang pembagian Out.
Undang-Undang pembagian Out memastikan properti untuk diidentifikasi secara jelas dan terdaftar. Ketika bagian dari sebuah properti dijual, digadaikan atau disewakan secara terpisah selama lebih dari 30 tahun, bagian ini harus dibagi. Ketentuan pembagian keluar mencakup semua kontrol publik mengenai tujuan dari penggunaan lahan. Tukang kredit (bank, lembaga keuangan, individu) menemukan jaminan dasar nya dipendaftaran di kadaster dan Buku Tanah, yang menjaga properti nyata terhadap pihak ketiga klaim hak. Pemilik menemukan jaminan dasar dalam Konstitusi dan lainnya Undang-Undang yang melindungi kepemilikan Serta swasta seperti industri publik memainkan peran penting dalam pasar tanah. Secara umum industri masyarakat mengumpulkan informasi dan menghasilkan fakta (data) untuk digunakan di bagian lain dari administrasi publik atau untuk digunakan oleh konseling pribadi oleh Agen Real Estate, pengacara, surveyor dll industri swasta dalam penasihat umum untuk individu yang ingin menjual dan membeli tanah dan mengelola pasar tanah. Cukup beberapa spesialis dan otoritas publik bermain bagian dalam pasar tanah, tetapi dalam mengikuti paling penting disebutkan.
Perlu diperhatikan, bahwa sistem notaris tidak ada di Denmark. Swasta industri:
1.Agen real estate mempublikasikan properti untuk dijual atas nama pemilik individu. Mereka bertindak pada ketentuan dalam Undang-Undang Perdagangan Real Properti. Mereka diwajibkan untuk menyediakan informasi kepada calon pembeli mengenai properti dan barang-barang nya (bangunan, hutan dll). Informasi harus menganggap saran bagaimana untuk membiayai properti, dan adalah tugas untuk menghasilkan informasi yang menyatakan apakah ada kebocoran atau dll membusuk di dalam gedung. Karena liberalisasi di agen real estat Undang-Undang dalam beberapa tahun terakhir semakin lengkap perbuatan, yang mereka pada zaman dulu secara hukum dilarang. Agen real estate tidak dimonopoli. Orang bebas untuk mengatur properti perdagangan sendiri. Ada 3.877 nyata estate agent perusahaan mempekerjakan 13.282 orang (1996-angka).
2.Pengacara terutama terlihat setelah kepentingan hukum dan pembeli/atau penjual dengan menyelesaikan perbuatan. Mereka berurusan dengan kepentingan mortgagees dan sering mengurus pembiayaan situasi dan bekerja sama dengan surveyor berlisensi dan agen real estate, ketika Situasi menuntut spesialis, misalnya dengan pembagian. Akhirnya mereka kebanyakan membawa akta untuk akhir pendaftaran di kantor Badan Pertanahan. Adapun agen real estate, pengacara tidak dimonopoli di bidang menjual atau membeli properti yang nyata, perbuatan menyelesaikan dan mendaftarkan mereka. Ada 1.663 pengacara swasta perusahaan di Denmark dengan 11.338 karyawan. (1996 - angka).
Bertentangan dengan agen real estate dan pengacara, surveyor berlisensi yang dimonopoli di bidangnya kerja dengan subdivisi, pengalihan lahan dari satu ke yang lain memegang, penggabungan sifat dan demarkasi batas-batas persil. Monopoli dinyatakan dalam Undang-Undang Subbagian dan pendaftaran tanah dan selanjutnya diatur dalam Undang-Undang tentang Surveyor kualifikasi, tugas dan tanggung jawab. Izin diberikan oleh Menteri Perumahan ke surveyor yang telah menyelesaikan gelar lima tahun sebagai M.Sc. dalam Survei dan Kadastral Ilmu pengetahuan, dan yang lebih jauh lagi bekerja dengan surveyor berlisensi dalam praktek pribadi selama tiga tahun. Dalam bidang pekerjaan kadaster, orang wajib mengajukan permohonan, misalnya pembagian dan perubahan batas-batas properti di surveyor berlisensi. Surveyor melaksanakan diperlukan hukum survei dan mempersiapkan dokumen yang diperlukan untuk pengajuan aplikasi ke Survei Nasional dan kadaster untuk memperbarui kadaster. Ada sekitar 160 swasta lisensi perusahaan survei dengan 1000 karyawan. (1997-angka).
Otoritas publik dan industri Survei Nasional dan kadaster adalah lembaga negara di Departemen Perumahan dan Bangunan. Hal ini terpusat di Kopenhagen dan berjalan dan update kadaster nasional (Pendaftaran dan peta). Selain itu menyediakan masyarakat dengan peta topografi dan grafik laut Kadaster ini diperbarui berdasarkan surveyor informasi pribadi dari dana berlisensi. Itu Tanah Registry dan administrasi Kota disediakan dengan update sehari-hari mendaftarkan informasi dari kadaster, misalnya mengenai jumlah paket baru dan wilayah mereka atau mengubah daerah. Serta register sebagai peta kadaster sepenuhnya digital. Semua orang termasuk surveyor pribadi memiliki akses ke register dan peta. Sebuah layanan Internetmemungkinkan Anda untuk mendapatkan informasi yang diberikan bahwa Anda berlangganan akses.
Registry Tanah terdesentralisasi ke pengadilan setempat. Berjalan Registry tanah dan pembaruan Buku Tanah atas dasar fromlawyers informasi, Survei Nasional dan kadaster, real estate agen, bank, keuangan asosiasi dan individu. Pendaftaran Tanah pasokan.Sama dengan pihak diperbarui, informasi yang valid dari nama pemilik, easements dan hipotek pada setiap properti tunggal. Dari tahun 2000 Kitab Land akan sepenuhnya didigitalkan. Ada 100 pengadilan setempat menjaga Buku Tanah, Sekitar 40 Buku Tanah lokal atau 60% dari sifat riil total yang didigitalkan pada akhir tahun 1997. Informasi dijual dari Database Buku Tanah secara langsung atau melalui internet yang disediakan salah satu berlangganan akses.
Para Administrasi di County menyimpan catatan mengenai lubang kerikil, informasi lanskap, sumber daya air, limbah tempat pembuangan dll Luasnya informasi digital berbeda dari daerah ke daerah. Informasi yang tersedia untuk umum.
Para Kota terus register mengenai harga penjualan setiap properti dan menahan, penilaian properti, dan daftar bangunan dan tempat tinggal. Informasi penjualan berasal dari penjualan deklarasi bahwa setiap pembeli properti harus tunduk kepada kota berwenang, yang menyatakan harga penjualan, rincian tentang pembayaran dan sifat transfer (Pasar penjualan terbuka, warisan, transfer keluarga, lelang). Akta tersebut tidak dapat didaftarkan di Tanah Pesan kecuali jika dibuktikan bahwa deklarasi penjualan telah lulus otoritas kota.
Tujuan dari Daftar Penilaian adalah untuk merekam penilaian masing-masing pada properti tunggal dan oleh yang membantu pemerintah dalam menghitung dan mengumpulkan pajak properti, dan memberikan informasi kepada konsultan. Isi mendaftar informasi mengenai identifikasi properti (nomor kadaster dan nomor properti), luas tanah tiap bidang dan Selanjutnya semua hasil dari penilaian masing-masing. Bea Cukai Pusat dan Administrasi pajak Departemen Perpajakan mengatur pedoman untuk pemeliharaan register.
Register Bangunan dan Dwelling didirikan pada tahun 1977-1979 dan terdiri dari informasi pada tiga tingkat pendaftaran:
Sistem hukum dan peraturan yang mendukung pasar
Ketentuan untuk membeli dan menjual tanah banyak berbeda antara jenis tanah tertentu. Mereka adalah alasan historis dalam hubungan dekat dengan kebijakan industri. Mengenai ketentuan penjualan dan perolehan tanah tampaknya masuk akal untuk berkonsentrasi pada tiga jenis tanah:
Bagian utama dari tanah di Denmark adalah nilai pertanian yang tinggi. Hal ini tercermin dalam Kenyataan bahwa hampir 65 persen dari total areal pertanian digunakan. Mayoritas di Parlemen selalu memiliki pendapat mendasar bagi perlindungan akses dengan kepemilikan lahan pertanian. Selain itu ada aturan alasan historis dan peraturan yang tepat untuk petani menggabungkan peternakan dan pertanian. Ini adalah tujuan politik yang mendasar di Denmark untuk menyeimbangkan jumlah pertanian kecil dan besar, untuk membatasi total luas pertanian tunggal dan untuk membatasi jumlah dan total luas pertanian yang petani individu diperbolehkan untuk tumbuh.
Adalah normal bahwa peternakan dalam freehold dan petani selain sering memiliki satu atau dua peternakan atau bidang lahan pertanian di prasarana. Pembatasan jual beli (dan budidaya) lahan pertanian tidak di tangan pertama berdasarkan kemampuan kualitas tanah sebagai tanah untuk pertanian. Pembatasan didasarkan pada apakah holding yang terdaftar sebagai pertanian holding di kadaster. Sebagian besar lahan pertanian yang terdaftar sebagai kepemilikan pertanian di kadaster, tetapi masih tetap ada beberapa bagian lahan pertanian yang tidak termasuk dalam pendaftaran. Potongan-potongan tanah dapat dijual bebas, kecuali preemption untuk Departemen Pangan, Pertanian dan Perikanan terdaftar dalam Buku Tanah.
2.lahan untuk perumahan (dan industri)
Di daerah pedesaan dewan di County terutama bertanggung jawab untuk juga perlindungan alam dan lingkungan, sebagai pengembangan industri pedesaan (misalnya pertanian dan eksploitasi bahan baku). Sebuah rencana daerah terdiri dari kerangka yang paling penting dan membentuk dasar untuk mengelola ketentuan tentang pelestarian alam dan perlindungan pantai, danau, saluran air, hutan dan monumen kuno. Obyek untuk Dewan Negara adalah untuk menghindari bangunan yang tidak terkendali dan konstruksi dalam pedesaan. Ini adalah aturan dasar, bahwa pedesaan harus disediakan untuk bangunan dan diperlukan untuk pertanian, kehutanan dan perikanan konstruksi. Kepemilikan, penggunaan dan ukuran kepemilikan pertanian yang dikelola oleh Komisi Pertanian setempat. Lahan untuk perumahan dan cottage musim panas Seperti di banyak negara lain, pembangunan perkotaan dipercepat antara tahun 1945 dan pertengahanTahun 1980-an. Kabupaten besar baru diciptakan di luar pusat kota bersejarah. Ini perkotaan kabupaten yang mencakup daerah pemukiman dan komersial, sekarang mencakup 75 persen dari mengembangkan lahan kota dan menutupi separuh penduduk Denmark.
Lahan untuk perumahan dikelola oleh sistem perencanaan tata ruang. Isi dari perencanaan adalah menentukan dalam setiap keputusan perencanaan, termasuk di mana dan apa yang dapat membangun, di mana jalan harus berada dan di mana kualitas perkotaan yang ada atau lanskap yang harus dilindungi. Itu
sistem perencanaan tata ruang didasarkan pada prinsip kontrol kerangka kerja, untuk menghindari kontradiksi antara rencana disusun berdasarkan satu tingkat administrasi dan rencana disusun atas mengikuti tingkat administrasi.
Tingkat negara (Kementerian Lingkungan Hidup dan Energi) menyediakan perencanaan nasional yang hanya bertujuan untuk memastikan bahwa sudut pandang pemerintah pusat dan arahan yang dimasukkan dalam perencanaan tata ruang, misalnya Uni Eropa arahan. Dewan daerah mempersiapkan dan mengelola perencanaan daerah. Rencana daerah memberikan arahan untuk membimbing pembangunan di daerah, terutama di luar daerah perkotaan dalam jangka waktu 12 tahun. Di Bawah dari hirarki perencanaan yang menemukan rencana kota dan rencana lokal disiapkan dan diadopsi oleh dewan kota. Rencana kota menentukan umum struktur kotamadya dan menciptakan kerangka kerja untuk perencanaan lokal. The lokal rencana mempertimbangkan peraturan rinci di daerah tertentu dari kota dan pada individu properti mengenai pembangunan sekarang dan masa depan daerah. Dengan pembagian keluar Undang-Undang pembagian Out memastikan pemerintah kota untuk terlibat dan hal pertimbangan mengenai pertanyaan lingkungan, akses jalan dan lain-lain
3.lahan untuk cottage musim panas
Area untuk cottage musim panas adalah bagian dari obyek perencanaan kota dan dikelola oleh Rencana lokal. Rumah hunian yang ada bisa tanpa izin digunakan sebagai rumah musim panas, sedangkan perubahan berlawanan menuntut izin dari Dewan Negara. Pemilik cottage musim panas terbatas untuk membiarkan rumah mereka untuk maksimal satu tahun dan perusahaan tidak diizinkan untuk memperoleh lahan untuk cottage musim panas, kecuali izin khusus dari dana Menteri Lingkungan Hidup dan Energi. Kecuali untuk pendek-termholiday penggunaan, dll, tinggal di musim panas-pondok-daerah yang tidak dapat digunakan untuk overnighting dari 1 Oktober hingga 31 Maret, kecuali hunian itu digunakan sebagai tempat tinggal permanen ketika daerah ditetapkan sebagai musim panas wilayah pondok. Ada beberapa pengecualian bagi orang-orang pensiunan yang ingin hidup dalam mereka musim panas pondok sepanjang tahun. Kasus sering dibawa untuk pengadilan oleh pemilik cottage musim panas, dalam rangka untuk mempengaruhi prinsip hukum ke arah yang lebih liberal.
Dalam hal keanggotaan Denmark dari Uni Eropa, kecuali telah dibuat untuk orang asing akuisisi real properti (tanah, rumah dan kondominium). Individu atau perusahaan tidak terdaftar sebagai penduduk tetap di Denmark setidaknya untuk jangka waktu lima tahun, hanya diperbolehkan untuk membeli properti riil pada izin dari Menteri Kehakiman Ada pengecualian mengenai tinggal tetap bagi warga negara dari anggota lainnya negara Uni Eropa atau EEA, yang dipekerjakan secara sah di Denmark, atau yang membangun sendiri perusahaan di Denmark. Pengecualian tidak memahami cottage musim panas.
Peran Registry Tanah dan kadaster
The kadaster Kadaster Denmark berasal dari hasil gerakan kandang, dan didirikan pada tahun 1844. Sejak awal, kadaster terdiri dari dua bagian: The kadasteral mendaftar dan peta kadaster, Kedua komponen telah diperbarui terus sejak itu. Sebagai hasil dari gerakan kandang, masyarakat feodal mantan diubah menjadi masyarakat yang didasarkan pada kepemilikan pribadi atas tanah. Bahkan jika tujuan utama dari kadaster adalah untuk memungut pajak tanah, identifikasi kadaster juga digunakan untuk mendukung kepemilikan tanah dan lahan sistem transfer. Seiring waktu kadaster Denmark telah berubah frombeing terutama dasar untuk penilaian tanah untuk kadaster hukum yang mendukung pasar tanah yang efisien.
Ketentuan utama dalam Undang-Undang Subbagian dan Pendaftaran Tanah adalah ofthe kewajiban pemilik tanah untuk diterapkan ke surveyor berlisensi.Penerapan diperlukan untuk memulai proses yang mengarah pada pembaharuan kadaster setiap kali bagian dari real properti adalah baik dijual, menggadaikan atau disewakan untuk jangka waktu lama (30 tahun). Ketentuan ini harus dipenuhi utama karena kebutuhan dan manfaat dari pemilik tanah untuk mendapatkan hak-hak hukum kepemilikan dan hipotek dijamin melalui pendaftaran dalam Buku Tanah. Oleh karena itu, pembagian harus dilakukan melalui sebelum pendaftaran dari perbuatan judul untuk bidang tanah menjadi bagian dari properti. Ini bidang tanah tersebut kemudian diidentifikasi sebagai sifat individu dalam kadaster mendaftar. Interaksi antara sistem kadaster dan Buku Tanah telah terbukti pada dasarnya aman dan efektif. Kadaster terdiri dari empat elemen:
Tidak ada sistem notaris hadir di Denmark. Registry Land Act menyatakan bahwa hukum hak kepemilikan dan hipotek harus didaftarkan di Buku Tanah harus diamankan terhadap hak-hak pihak ketiga. Juga, dinyatakan bahwa hukum hak-hak kepemilikan dan hipotek harus mencakup total luas properti untuk menjamin hak prioritas, misalnya dengan penjualan paksa. Buku Tanah didasarkan pada identifikasi kadaster. Setiap properti memiliki neraca yang menunjukkan informasi kadaster (nomor kadaster (s) dan daerah), sebuah nama pemilik tanah dan informasi tentang hipotek dan easements.
Lahan terpadu di Denmark Pengelolaan lahan di Denmark diatur sebagai jaringan subsistem interaktif berisi informasi yang digunakan sangat sering. Misalnya kadaster dan registri Tanah ditempatkan di dua kementerian, dua database terpisah dan dijalankan oleh dua sangat berbeda organisasi. Untuk tujuan pasar tanah suatu hubungan otomatis antara subsistem yang dicapai, dengan mendirikan Register "Referensi Silang yang berisi kunci semua identifikasi dalam setiap subsistem (misalnya nomor paket kadaster, bangunan nomor, alamat pos) dan referensi silang antara identifikasi. Karena itu adalah mungkin untuk mendapatkan semua informasi yang tersedia pada properti tertentu atau bangunan oleh hanya mengetahui salah satu kunci. Selain itu, identifikasi-kunci bertujuan untuk dihubungkan ke elemen fisik yang relevan terwakili dalam peta, misalnya paket, bangunan. Unik Link ada, misalnya antara Register Parcel, Peta Kadastral Digital, Registry Tanah, dan Bangunan dan Dwelling Daftar disebabkan oleh jumlah paket kadaster. Selanjutnya ada link antara Bangunan dan Daftar Tempat Tinggal dan Tengah Populasi Daftar karena alamat pos unik dari bangunan. Dengan menghubungkan satu set X, Y-koordinat dan dengan demikian membuat daftar geo-kode alamat, seharusnya mungkin untuk menghubungkan setiap informasi alamat terkait ke database peta, yang akan membuat serbaguna Informasi alat untuk keperluan analisis dan administrasi.
AMERIKA
  Di Indonesia ,kewenangan Negara dalam pengambilalihan hak atas tanah untuk kepentingan umum diderivasikan dari Hak Menguasai Negara. Sedangkan  di Amerika Serikat yang bersumber pada eminent domain, dimana Negara (pemegang kedaulatan) diyakini memiliki kewenangan tersebut secara inheren.  Dan meskipun kedua prinsip ini dipercaya telah menderivasikan (dan memberikan—di Amerika Serikat) kewenangan tersebut, tetapi secara filosofis-historis kedua prinsip ini berbeda. Hak Menguasai Negara adalah prinsip yang justru lahir untuk menghapus prinsip domein Negara yang menjadi landasan filosofis dari eminent domain.
  HMN memberikan kewenangan pengaturan dan penyelenggaraan bagi Negara. Dan dalam perkecualian untuk kepentingan umum, baru dapat mengambilalih hak atas tanah rakyat. Sedangkan eminent domain dianggap sebagai kekuasaan yang inheren dalam sebuah kekuasaan Negara (kedaulatan), dan menempatkan Negara sebagai “individu” yang dapat melakukan hubungan hukum sebagaimana individu (orang). Sehingga logika berpikir dalam eminent domain ini adalah bahwa karena Negara tidak memiliki semua tanah maka Negara harus membayar kompensasi jika Negara memerlukan tanah milik rakyat untuk penyelenggaraan kepentingan umum tersebut
Berbeda dengan Hak Menguasai Negara yang dalam UUPA menempatkan Negara sebagai  personifikasi seluruh rakyat untuk mengatur, menyelenggarakan peruntukkan, mengatur dan menentukan hubungan rakyat dan tanah, tetapi hanya bersifat hukum publik.
Menurut asas ini, Negara tidak dapat memiliki tanah sebagaimana perseorangan, meskipun Negara dapat menguasai tanah Negara. Prinsip ini harus ditafsirkan sebagai peran Negara, yaitu sebagai wasit yang adil yang menentukan aturan main yang ditaati oleh semua pihak dan bahwa Negara juga tunduk pada peraturan yang dibuatnya sendiri ketika turut berperan sebagai actor.
Penerapan eminent domain di Amerika Serikat yang menganut kapitalisme-liberalisme dimana kebebasan dan persaingan usaha dijunjung tinggi, sejak semula telah memberi peluang sebesar-besarnya kepada swasta atau perseorangan untuk memiliki tanah dan mengusahakannya. Sedangkan secara historis, HMN lahir untuk menghapus asas domein negara yang telah diterapkan kolonialis untuk memanfaatkan demi kepentingannya dan menjualnya kepada swasta dan partikelir konsep fungsi sosial hak atas tanah yang juga menjadi legitimasi Negara dalam pengambilalihan hak atas tanah untuk kepentingan umum ini
di Indonesia : bahwa fungsi sosial hak atas tanah dianggap inheren dalam hukum adat yang berlaku.
Di AS : konsep ini lahir sebagai kontrol sosial terhadap kemutlakan dari pemilikan individu.
Pembelajaran yang diterapkan dalam kelas menggunakan Mind Mapping, sangat bisa membantu mahasiswa dalam mengolah suatu materi yang sedang berlangsung didalam agraria.Mahasiswa dituntut untuk menguasai permasalahan agraria disajikan dalam bentuk skema yang memiliki hubungan sebab akibat dan saling berpengaruh. Metode belajar dengan mind mapping ini mampu meningkatkan analisis dan berfikir kritis siswa sehingga memahami sesuatu secara keseluruhan dari awal sampai akhir.
Dari hal tersebut kita bisa mengetahui persoalan- persoalan agrariadari mulai Zaman Indonesia Kuno sampai dengan zaman Setelah kemerdekan dengan metodeproblem based  learning, sebagai salah contoh tentang bagaimana pemerolehan tanah baru dalam masyarakat adat yaitu dengan meminta izin kepada ketua adat , membuat pernyataan kepada khalayak umum  bahwa tanah tsb tanah miliknya dan pernyataan pernyataan lain mengenai agraria. Kita juga bisa mengetahui  teori pemilikan tanah berdasarkan hukum adat adalah tanah merupakan milik komunal atau persekutuan hukum (beschikkingsrecht). Dalam hal ini setiap anggota persekutuan dapat mengerjakan tanah dengan jalan membuka tanah terlebih dahulu dan jika mereka mengerjakan tanah tersebut secara terus-menerus maka tanah tersebut dapat menjadi hak milik secara individual. Perbedaan juga kita dapat ketahui dari Negara lain yang menggunakan hukum agraria ditempat mereka. Persoalan kepemilikan tanah dan pengelolaan tanah yang salah menimbulkan sislsilah kepemilikan yang berujung kepada penindasan hak milik rakyat Indonesia.


[1]A.Anugrahni. “Hak Milik Atas Tanah Masa Kerajaan di Nusantara”, https://ngobrolinhukum.wordpress.com/2013/03/03/hak-milik-atas-tanah-masa-kerajaan-di-nusantara/, diakses pada tanggal 18 Oktober 2018
[2] A. Ridwan Halim, Hukum Agraria Dalam Tanya Jawab, Jakarta: Ghalia Indonesia, Cetakan ke-2 1988, hlm. 27

No comments:

.