PENERAPAN
MODEL PEMBELAJARAN APLIKASI TEORI DAN MATERI DALAM USALAN TOPIK PEMBELAJARAN
PROBLEM BASED LEARNING
HUKUM AGRARIA
Oleh : Hendi Indra Prasetya
NIM : 20170610010
Sehubungan dengan
kompleksnya mata kuliahhukum
agraria sebagaimana
harus dipelajari atau diperoleh melalui proses belajar yang berlangsung secara
kondusif sehingga mahasiswa
mampu mengembangkan kemampuan berpikir kritis dalam melihat fenomena agraria yang terjadi pada
kehidupan sehari-hari berdasarkan sudut pandang agraria. Untuk mengetahui apakah
mahasiswa
tersebut telah menguasai materi pembelajaran yang telah diajarkan adalah dengan
meningkatnya hasil belajar mahasiswa.
Akan tetapi, fakta dilapangan menunjukkan bahwa hasil belajar mahasiswa pada mata pelajaran agraria masih rendah. Proses pembelajarannya haruslah
melibatkan proses mental mahasiswa
secara maksimal, bukan hanya menuntut mahasiswa sekedar mendengar, mencatat, akan tetapi juga
menghendaki aktivitas mahasiswa
dalam proses berfikir. Karena pembelajaran hukum agraria dimaksudkan untuk
mengembangkan kemampuan pemahaman terhadap fenomena agraria pada kehidupan
sehari-hari. Selain itu, materi pelajaran hukum agraria juga mencakup konsep - konsep dasar, pendekatan, metode,
dan teknik analisis dalam pengkajian terhadap berbagai fenomena agraria dan permasalahan yang
ditemui dalam kehidupan nyata di masyarakat.
Fakta menunjukkan hasil
belajar mahasiswa
pada mata kuliah agraria masih
rendah sehingga salah satu jalan keluarnya adalah merubah model pembelajarannya
dengan menerapkan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) pada mata kuliah hukum agraria. Model pembelajaran Problem Based Learning atau
pembelajaran berbasis masalah merupakan model pembelajaran yang berfokus kepada
mahasiswa
atau student center. Model pembelajaran berbasis masalah tersebut
bercirikhaskan mengenai masalah-masalah pada kehidupan nyata dan merupakan
pembelajaran yang menekankan kepada aktivitas penyelidikan dalam memecahkan
masalah tersebut. Dalam hal ini diharapkan, mahasiswa dapat mengembangkan kemampuan
berpikirnya karena ia akan memperoleh informasi dari berbagai sumber belajar
mengenai materi yang sedang dipelajari. Selain itu, model pembelajaran berbasis
masalah ini membagi mahasiswa
ke dalam kelompok-kelompok dengan permasalahan yang berbeda-beda pada
masing-masing kelompok tersebut. Pembagian kelompok juga dilakukan secara
heterogen sehingga diharapkan dapat memotivasi mahasiswa untuk berinteraksi dengan mahasiswa lain walaupun bukan per
groupnya, meningkatkan partisipasi, saling membantu, dan saling bekerjasama
dalam berdiskusi memecahkan permasalahan yang mereka dapatkan serta berperan
aktif di dalam pembelajaran hukum
agraria.
Pengaturan hukum
agraria pada masa Indonesia Kuno,Seperti
apa yang kita ketahui model pembelajaran yang diterapkan dalam kelas
menggunakan Mind Mapping, sangat bisa membantu mahasiswa dalam mengolah suatu
materi yang sedang berlangsung didalam agraria.Mahasiswa dituntut untuk
menguasai permasalahan agraria disajikan
dalam bentuk skema yang memiliki hubungan sebab akibat dan saling berpengaruh.
Metode belajar dengan mind mapping ini mampu meningkatkan analisis dan berfikir
kritis siswa sehingga memahami sesuatu secara keseluruhan dari awal sampai
akhir.
tahu bahwa Sebelum diatur dalam
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), pendahulu kita yang hidup di zaman kerajaan sudah mengenal mengenai hak milik atas
tanah. Perlu kita dapat diuraikan dengan singkat mengenai hal tersebut
yang mungkin dapat digunakan salah satunya sebagai pengantar apabila ada yang ingin
melakukan analisis mengenai sejarah hukum hak
milik atas tanah di Indonesia.
1) Masa
Masyarakat Adat
Didalam Masyarakat
adat bahwasannya dalam kepemilikan tanah di berikan
sepenuhnya oleh masyarakat adat tersebut pada suatu wilayah tersebut
sedangkan Ketua adat hanya berwenang untuk mengatur atas penggunaan
tanah tersebut.
Menanggapi masyarakat
hukum adat mempunyai salah satu hak yang terpenting terkait dengan ruang
hidupnya yaitu “Hak Ulayat”, sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 UUPA
“Dengan mengingat
ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang
serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih
ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan
Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan
dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.
Sedangkan luas tanah
ulayat tidak mampu didefinisikan secara pasti namun kebiasaan masyarakat adat
utuk menentukan luas tanah ulayat dengan cara seluas mata memeamndang
adalah milik masyarakat adat tersebut. Tanah ulayat merupakan tanah milik adat
(masyarakat adat) dengan pemisahan antara tanah dengan bangunan yang di atasnya
(pemisahan horizontal). Tiap daerah memang memiliki perbedaan tatacara
kepemilikan tanah ulayat namun jika di gambarkan secara umum, ketika salah satu
individu pada
masyarakat adat ingin membuka lahan
baru maka dia harus mlakukan mekanisme :
1.
Mabali. Mubali pemberian tanda batas
tanah oleh individu anggota masyarat adat (seperti rotan di atas pohon).
2.
Musyawarah dengan ketua
adat. Meminta ijin pada ketua adat untuk membuka lahan yang telah
ditandai.
3.
Membuka Tanah. Membuka tanah
dengan komunal (bergotongroyong / bersama-sama)
4.
Mengusahakan (Memperdayakan) yaitu
menanami lahan, membangun rumah, berburu, dll
5.
Timbul Hak Milik. Timbulnya hak
milik tidak berarti mutlak kepemilikan individu anggota masyarakat adat.
Untuk masyarakat asli untuk
menggunakan tanah
1. Meminta
izin kepada Ketua adat .
2. membuat
pernyataan kepada khalayak umum bahwa tanah tsb tanah miliknya.
Dari hal tersebut wilayah
lain yang ingin menggunnakan tanah dari suatu wilayah yang bukan
sebagai anggota masyarakat tersebut :
1. Harus
Izin kepada kepala adat
2. Harus
berdekatan dengan tempat tinggalnya ( agar mereka mampu bekerja dengan baik)
3. Harus
memberikan 10 persen Upeti (Uang Sewa)
4. Di
beri waktu 3 kali panen ( max) (karena akan ditakutkan akan berpindah hak
milik)
Digram
yang terbentuk bisa menjadi alur berfikir yang efektif dan bermanfaat untuk hal
lain. Misalnya dalam pembentukan kelompok :
.2) Masa
kerajaan (Sistem Feodal)
Pada kelompok
ini dikhususkan untuk memahami bagaimana pada
masa kerajaan :
1) Petani
: 1.
Harus membagi sebagian dari hasil pertaniann
2)
Rakyat memberikan tenaga untuk menggarap tanah.
3) Pengusaha
: 1. Harus mempunyai perkebunan yang luas
2. Pengusaha menyewakan hasil sewanya kepada petani
3. Pengusaha peminta 1/3 dari tanah yang disewa.
4. Petani harus mengelola tanah tsb.
6.
Penagih dari raja (Bekel) mendapat
1/5 dari hasilnya.
Mahasiswa juga turut aktif dalam
memperdalam bagaimana penerapan suatu konsep Mind Mapping, dalam ranah penyajian data :
1) Grand
Sultan (Tanah yang diberikan kepada Keluarga)
2) Grand
Controlur (Tanah yang diberikan kepada masyarakat)
3) Grand
Deli (Tanah yang diberikan kepada Pengusaha)
4) Hak
konsesi (Sewa)
a. Hak
Milik Atas Tanah Masa Kerajaan Kutai
Kerajaan Kutai (sekitar 400 M), jauh
sebelum masuknya orang-orang Eropa di Nusantara, sebenarnya
pengaturan dalam masalah tanah sudah dikenal dalam sistem pemerintahan
kerajaan-kerajaan terdahulu. Pada masa jayanya kerajaan Kutai pernah dikenal adanya
suatu ketentuan yang mengatur tentang acara penggunaan, pengolahan,
pemeliharaan, jual beli, sistem pemilikan, tanah terlantar, dan tanah-tanah
kehutanan. Adapun ketentuan-ketentuan tersebut sebagai berikut :
1.
Pada masa kerajaan Kutai dikenal
dengan Kitab Undang-Undang Brajananti atau Brajaniti.
2.
Pada masa kerajaan Banjar dikenal
dengan Kitab Undang-Undang Sultan Adam dibuat sekitar tahun 1251.
b. Hak
Milik Atas Tanah Masa Kerajaan Sriwijaya
Pengaturan sistem pertanahan pada
masa kerajaan Sriwijaya (693-1400) dikenal dengan nama kitab undang-undang
Simbur Cahaya yang merupakan peninggalan kitab undang-undang jaman raja-raja
Sriwijaya. Prinsip pemilikan hak atas tanah, raja dianggap sebagai pemilik,
sedangkan rakyat sebagai pemakai (penggarap) yang harus membayar upeti kepada
raja sebagai pemilik.
c. Hak
Milik Atas Tanah Masa Kerajaan Majapahit
Kerajaan
Majapahit (1293-1525) merupakan suatu kerajaan yang menguasai seluruh nusantara
dan memiliki ketentuan yang paling lengkap tentang pengaturan kehidupan
masyarakat. Tanah dalam kehidupan rakyat majapahit memegang peranan penting
karena itu dibuat undang-undang tentang hak memakai tanah yang disebut
Pratigundala. Pratigundala didapati dalam negarakertagama pupuh 88/3 baris 4
hal 37. Undang-undang tersebut disusun dengan latar belakang bahwa kerajaan
Majapahit merupakan suatu kerajaan yang rakyatnya sebagian besar hidup dari
hasil-hasil pertanian. Dalam kitab undang-undang yang disebut agama, terdapat
lima pasal diantara 271 pasalnya yang mengatur masalah tanah. Tanah menurut
undang-undang agama dalam kerajaan Majapahit adalah milik raja. Rakyat hanya
mempunyai hak untuk menggarap dan memungut hasilnya tetapi tidak memiliki tanah
tersebut, hak milik atas tanah tetap ada pada raja.[1]
Dari beberapa teori pendukung mengenai masa Pemerintahan Hindia Belanda, secara historis, ketentuan hukum
agraria pada masa kolonial mulai dijalankan sejak berdiri dan berkuasanya VOC (Vernigde
Oost Indische Compagnie) hingga masa penjajahan Jepang. Pada masa VOC
terdapat sejumlah kebijakan di bidang pertanian yang ujung-ujungnya menindas
rakyat Indonesia. Kebijakan yang dimaksud, meliputi:
Pertama, contingenten, dengan
ketentuan bahwa pajak hasil atas tanah pertanian harus diserahkan kepada
penguasa kolonial (kompeni). Petani harus menyerahkan sebgaian dari hasil
pertaniannya kepada kompeni tanpa dibayar sepeser pun.
Kedua, Verplichte
leveranten, suatu ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan para raja
tentang kewajiban meyerahkan seluruh hasil panen dengan pembayaran yang
harganya juga sudah ditetapkan secara sepihak. Dengan ketentuan ini, rakyat
tani benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak berkuasa atas apa
yang mereka hasilkan. Dan, ketiga, roerendiensten,
yakni kebijakan mengenai kerja rodi yang dibebankan kepada rakyat Indonesia
yang tidak mempunyai tanah pertanian.
Setelah kekuasaan VOC berakhir,
terjadi perubahan struktur penguasaan dan pemilikan tanah dengan penjualan
tanah, hingga menimbulkan tanah partikelir sebagai akibat kebijakan yang
dikeluarkan pemerintahan Hindia Belanda melalui Gubernur Herman Willem Daendles
(1800-1811). Kebijakan yang dikeluarkan oleh Daendles adalah menjual
tanah-tanah rakyat Indonesia kepada orang-orang Cina, Arab maupun bangsa
Belanda sendiri sehingga muncullah istilah tanah partikelir. Tanah partikelir
merupakan tanah eigendom yang mempunyai sifat dan corak
istimewa yakni adanya hak-hak pada pemiliknya yang bersifat kenegaraan yang
disebut landheerlijke rechten atau hak pertuanan.
Semenjak pemerintahan
kemudian beralih ke GubernurThomas Stanford Raffles pada tahun 1811. Pada masa
Rafles semua tanah yang berada di bawah kekuasaan pemerintah dinyatakan
sebagai eigendom government. Dengan dasar ini setiap tanah
dikenakan pajak tanah atau lebih dikenal dengan kebijakan Landrent.
Analogi
kebijakakn usulan materi mengenai dari hasil penelitian Rafles
mengenai pemilikan tanah-tanah di daerah swapraja di Jawa. Dia menemukan
bahwa semua tanah adalah milik raja, sedangkan rakyat hanya sekedar memakai dan
menggarapnya. Karena kekuasaan telah berpindah kepada Pemerintah Inggris, maka
sebagai akibat hukumnya adalah pemilikan atas tanah-tanah tersebut dengan
sendirinya beralih pula kepada Raja Inggris. Dengan demikian, tanah-tanah yang
dikuasai dan digunakan oleh rakyat itu bukan miliknya, melainkan milik Raja
Inggris. Oleh karena itu, mereka wajib memberikan pajak tanah kepada Raja
Inggris, sebagaimana sebelumnya diberikan kepada raja mereka sendiri.
Pada tahun
1830, pemerintahan Hindia Belanda dipimpin oleh Gubernur Jenderal Johanes van
den Bosch. Bosch menetapkan kebijakan agraria yang dikenal dengan sistem
Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel. Dalam sistem tanam paksa ini
petani dipaksa untuk menanam suatu jenis tanaman tertentu yang secara langsung
maupun tidak lengsung dibutuhkan oleh pasar internasional pada waktu itu. Hasil
pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintah kolonial tanpa mendapat imbalan
apapun. Bagi rakyat yang tidak mempunyai tanah pertanian wajib menyerahkan
tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa kerjanya atau 66 hari untuk
waktu satu tahun.
Adanya
monopoli pemerintah dengan sistem tanam paksa dalam lapangan pertanian telah
membatasi modal swasta dalam lapangan pertanian besar. Di samping pada dasarnya
para penguasa itu tidak mempunyai tanah sendiri yang cukup luas dengan jaminan
yang kuat guna dapat mengusahakan dan mengelola tanah dengan waktu yang cukup
lama. Usaha yang dilakukan oleh pengusaha swasta pada waktu itu adalah menyewa
tanah dari negara. Tanah-tanah yagn biasa disewa adalah tanah-tanah negara
nyang masih kosong.
Kebijakan hukum di bidang agraria di
zaman Hindia Belanda yang masih dirasakan sampai sekarang pengaruhnya adalah
diberlakukannya Agrarische Wet. AW ini merupakan undang-undang di
negeri Belanda, yang diterbitkan pada tahun 1870. Pemberlakuan AW di
Indonesia dilsinyalisasi sebagai respon terhadap keinginan
perusahaan-perusahaan asing yang bergerak dalam bidang pertanian untuk
berkembang di Indonesia.
Terbentuknya
AW merupakan upaya desakan dari para kalangan pengusaha di negeri Belanda yang
karena keberhasilan usahanya mengalami kelebihan modal, karenanya memerlukan
bidang usaha baru untuk menginvestasikannya. Dengan banyaknya persediaan tanah
hutan di jawa yang belum dibuka, para pengusaha itu menuntut untuk diberikannya
kesempatan membuka usaha di bidang perkebunan besar.
Terlihat
jelas bahwa diberlakukannya AW bertujuan untuk membuka kemungkinan dan
memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta agar dapat berkembang di
Hindia Belanda. Selain itu, AW juga bertujuan untuk: pertama,
memperhatikan perusahaan swasta yang bermodal besar dengan memberikan
tanah-tanah negara dengan hak Erfacht yang berjangka waktu lama, sampai 75
tahun dan mengizinkan para pengusaha untuk menyewakan tanah adat/rakyat. Kedua,
memperhatikan kepentingan rakyat asli dengan melindungi hak-hak tanah rakyat
asli dan memberikan kepada rakyat asli hak tanah baru (Agrarische eigendom).
Tujuan
adanya Agrarische eigendom sebetulnya untuk memberikan
kepada orang-orang Indonesia asli dengan semata hak yang kuat, yang pasti
karena terdaftar dan haknya dapat dibebani dengan hipotek. Tetapi dalam
praktiknya kesempatan untuk menggantikan hak miliknya dengan menjadi Agrarische
eigendom tidak banyak dipergunakan.
Untuk pelaksanaan AW tersebut, maka
diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan dan keputusan, diantaranya
dalam Agrarische Besluit. Ketentuan-ketentuan AW
pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam peraturan dan keputusan. Salah satu
keputusan yang paling penting adalah apa yang dimuat dalam Koninklijk
Besluit (KB), yang kemudian dikenal dengan nama Agrarische
Besluit (AB).
AB hanya berlaku untuk Jawa dan
Madura, maka apa yang dinyatakan dalam Pasal 1 AB tersebut, yang dikenal sebagai Domein
Verklaring (Pernyataan Domein) semula juga berlaku untuk Jawa dan
Madura saja. Tetapi kemudian pernyataan domein tersebut diberlakukan juga untuk
daerah pemerintahan langsung di luar Jawa dan Madura.
Maksud dari
adanya pernyataan domein itu adalah untuk memberikan ketegasan sehingga tidak
ada keragu-raguan, bahwa satu-satunya penguasa yang berwenang untuk memberikan
tanah-tanah kepada pihak lain adalah Pemerintah. Dengan adanya pernyataan
domein, maka tanah-tanah di Hindi Belanda dibagi menjadi dua jenis, yaitu: 1)
tanah negara bebas, yaitu tanah yang di atasnya tidak ada hak penduduk bumi
putera. 2) tanah negara tidak bebas, yaitu tanah yang di atasnya ada hak
penduduk maupun desa.
Dalam
praktiknya, pernyataan domein mempunyai dua fungsi, yakni: pertama, sebagai
landasan hukum bagi pemerintah kolonial untuk dapat memberikan tanah dengan
hak-hak barat, misalnya hak eigendom, hak opstal, dan hak erfacht. Kedua, untuk
keperluan pembuktian pemilikan, yaitu apabila negara berperkara, maka negara tidak
pelu membuktikan hak eigendomnya atas tanah, tetapi piha lainlah yang wajib
membuktikan haknya.
Untuk
diketahui bahwa hak rakyat Indonesia atas tanahnya adalah berdasarkan hukum
adat, sedangkan dalam hukum adat tidak adak ketentuan hukum yang sama dengan
Pasal 570 BW, maka dengan sekaligus semua tanah dari rakyat Indonesia termasuk
menjadi tanah negara (domein negara). Yang tidak termasuk tanah negara, menurut
Pemerintah Hindia Belanda, meliputi: a) tanah-tanah daerah swapraja; b)
tanah-tanah yang menjadi eigendom orang lain; c) tanah-tanah partikulir; dan d)
tanah-tanah eigendom agraria (Agrarische eigendom).
Selain AW,
KUHPerdata yang berlaku di Indonesia merupakan KUHPerdata yang berlaku di
Belanda, dengan beberapa perubahan diberlakukan di Indonesia, berdasarkan asas
konkordansi. Perihal peraturan hukum yang mengatur tentang hukum agraria dalam
KUHPerdata adalah Buku II KUHPerdata selama menyangkut tentang bumi, air dan
ruang angkasa.
Dalam buku
II KUHPerdata dijelaskan tersebut mengacu pada terdapat beberapa jenis hak atas tanah barat
yang dikenal yaitu tanah eigendom, tanah hak opstal, tanah
hak erfacht, dan Tanah hak gebruis. Di
samping hak atas tanah barat tersebut di atas, juga ada tanah-tanah dengan hak
Indonesia, seperti tanah-tanah dengan hak adat, yang disebut tanah hak adat.
Ada pula tanah-tanah dengan hak ciptaan pemerintah Hindia Belanda seperti agararische
eigendom, landerijn bezitrecht. Juga dengan hak-hak ciptaan
pemerintah swapraja, seperti grant sultan. Tanah-tanah dengan hak-hak adat dan
hak-hak ciptaan pemerintha Hindia Belanda dan swapraja tersebut, bisa disebut
tanah-tanah hak Indonesia, yang cakupannya lebih luas dari tanah-tanah hak
adat.
Tanah-tanah
hak barat dapat dikatakan hampir semuanya terdaftar pada Kantor Overschrijvings
Ambtenar menurut Overschrijvings Ordonantie S.
1834-1827 dan dipetakan oelh Kantor Kadaster menurut peraturan-peraturan
kadaster. Tanah hak barat ini tunduk pada hukum tanah barat. Artinya hak-hak
dan kewajiban pemegang haknya, persyaratan bagi pemegang haknya, hal-hal
mengenai tanah yang dihaki, serta perolehannya, pembebanannya diatur
menurut ketentuan-ketentuan hukum tanah barat.
Tanah-tanah
hak adat hampir semuanya belum didaftar. Tanah-tanah itu tunduk pada hukum adat
yang tidak tertulis. Tanah-tanah hak adat, yang terdiri atas apa yang disebut
tanah ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat dan tanah perorangan, seperti hak
milik adat, merupakan sebagian terbesar ranah Hindi Belanda. Untuk tanah-tanah
hak ciptaan pemerintah swapraja, di daerah-daerah swpraja Sumatera
Timur dipunyai dengan hak-hak ciptaan pemerintah swapraja.
Pembelajaran yang
diterapkan dalam kelas menggunakan Mind Mapping, sangat bisa membantu mahasiswa
dalam mengolah suatu materi yang sedang berlangsung didalam agraria.Mahasiswa
dituntut untuk menguasai permasalahan agraria disajikan
dalam bentuk skema yang memiliki hubungan sebab akibat dan saling berpengaruh.
Metode belajar dengan mind mapping ini mampu meningkatkan analisis dan berfikir
kritis siswa sehingga memahami sesuatu secara keseluruhan dari awal sampai
akhir. Menurut prespektif mahasiswas teori setelah Kemerdekaan,dalam bidang
keagrariaan selama masa penjajahan tersebut kita menjumpai terdapat
dualisme hukum agraria yang berlaku yakni berdasarkan hukum adat yang
melahirkan tanah hak milik adat, tanah ulayat, tanah yayasan, tanah golongan
dan sebagainya, serta berdasarkan hukum barat (kolonial) yang melahirkan tanah
hak eigendom (hak milik), tanah hak opstal, tanah
hak erfpacht, tanah hakgebruik (hak pakai), dan
sebagainya.[2]Terlepas
dari penjajahan Jepang (1945), Indonesia mendapatkan kemerdekaannya. Para
pemimpin bangsa mulai memikirkan untuk melakukan pembangunan hukum baru yang
terlepas dari ketidakadilan hukum kolonial termasuk hukum agraria kolonial.
Pengaturan hukum agraria menjadi salah satu hal yang difokuskan untuk
diubah dalam upaya memperbaiki tatanan pengaturan hak agraria masyarakat
Indonesia dari ketidakadilan hukum kolonial. Beberapa peraturan yang dihasilkan
antara lain terdapat Undang-Undang No. 28 Tahun 1956 tentang Pengawasan
Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah-Tanah Perkebunan, Undang-Undang No. 29 Tahun
1956 tentang Peraturan-Peraturan dan Tindakan-Tindakan Mengenai Tanah-Tanah
Perkebunan, Undang-Undang No. 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah
Partikelir, dan Undang-Undang No. 7 Tahun 1958 tentang Peralihan Tugas dan
Wewenang Agraria.
Pemerintah Indonesia pun membentuk panitia Agraria yang mengalami
beberapa kali pergantian, yakni Panitia Yogya (1948), Panitia Agraria Jakarta
(1951), Panitia Suwahyo (1955), Rancangan Soenarjo (1958), dan Rancangan
Soedjarwo (1960). Pembentukan panitia tersebut diusung untuk menghasilkan
sebuah hukum agraria yang berjiwa keindonesiaan. Setelah melalui proses selama
12 tahun, akhirnya terbitlah Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (biasa disebut UUPA) yang disahkan dan diundangkan
sebagai induk dari hukum agraria Indonesia. Dengan berlakunya UUPA, berarti
telah dicabut segala peraturan hukum agraria kolonial yang pernah berlaku di
Indonesia, yaitu:
1.
"Agrarische Wet"
(Staatsblad 1870 No. 55), sebagai yang termuat dalam pasal 51 "Wet op de
Staatsinrichting van Nederlands Indie" (Staatsblad 1925 No. 447) dan
ketentuan dalam ayat-ayat lainnya dari pasal itu;
2.
"Domienverklaring"
tersebut dalam pasal 1 "Agrarisch Besluit " (Staatsblad 1870 No.
118); "Algemene Domienverklaring" tersebut dalam Staatsblad 1875 No.
119A; "Domienverklaring untuk Sumatera" tersebut dalam pasal 1 dari
Staatsblad 1874 No. 94f; "Domeinverklaring untuk keresidenan Menado"
tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1877 No. 55; "Domienverklaring
untuk residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo" tersebut dalam pasal
1 dari Staatsblad 1888 No.58;
3.
Koninklijk Besluit tanggal 16 April
1872 No. 29 (Staatsblad 1872 No. 117) dan peraturan pelaksanaannya;
4.
Buku ke-II Kitab Undang-undang Hukum
Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku
pada mulai berlakunya undang-undang ini;
Salah satu
dasar pertimbangan dalam merumuskan UUPA ini adalah bahwa hukum agraria
tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit Presiden tanggal 5
Juli 1959, ketentuan dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dan Manifesto
Politik Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden
tanggal 17 Agustus 1960, yang mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah
dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan
bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara
perseorangan maupun secara gotong-royong.
Sebagai
implementasi dari ketentuan dalamPasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
yang menyatakan bahwa negara sebagai penguasa bumi, air, dan kekayaan alam
Indonesia, maka dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA telah ditentukan bahwa hak
menguasai dari negara yang dimaksud adalah memberi wewenang untuk:
·
mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut;
·
menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
dan
·
menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Adapun tujuan dalam pembentukan UUPA ini
dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (3), yakni bahwa wewenang yang bersumber pada hak
menguasai dari Negara tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besar
kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.
Untuk menunjukkan kepemihakan terhadap rakyat dalam pengaturan UUPA ini, dapat
dilihat dalam Pasal 11 dan 13. Dari berbagai ketentuan dasar tersebut,
selanjutnya UUPA juga menentukan mengenai hak-hak masyarakat atas tanah yang
dapat dibedakan menjadi:
·
Hak milik (Pasal 20-27)
·
Hak guna usaha (Pasal 28-34)
·
Hak guna bangunan (Pasal 35-40)
·
Hak pakai (Pasal 41-43)
·
Hak sewa untuk bangunan (Pasal
44-45)
·
Hak membuka tanah dan memungut hasil
hutan (Pasal 46)
·
Hak-hak atas tanah yang bersifat
sementara (Pasal 53) yakni hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, hak
sewa tanah pertanian.
·
Hak-hak lain yang tidak termasuk
dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta
hak-hak yang sifatnya sementara.
Selain hak-hak yang disebutkan
tersebut,terdapat hak-hak atas bagian lain dari tanah yakni terdiri dari hak
guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan (Pasal 47) serta hak guna ruang
angkasa (Pasal 48).Dengan pemberlakuan UUPA tersebut pemerintah mulai menata
pembagian dan penguasaan struktur kepemilikan tanah Indonesia karena selama
masa kolonial pola kepemilikan masyarakat atas tanah sangat tidak adil dan
tidak teratur. Untuk menjalankan suatu redistribusi kepemilikan tanah,
pemerintah membuat sebuah Undang-Undang No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan
Luas Tanah Pertanian yang disebut sebagai Undang-Undang Landreform Indonesia.
Sejak program ini berjalan pemerintah berhasil mendistribusikan sekitar 800.000
hektar tanah kepada 850.000 kepala keluarga.[2]
Mengingat kekhususan dari perkara-perkara
yang terkait dengan program tersebut, pemerintah Soekarno membentuk badan
peradilan tersendiri yaitu Pengadilan Landreform dengan dasar pembentukan
Undang-Undang No.21 Tahun 1964.[3] Namun kegiatan landreform ini
tidak berlangsung lama seiring bergantinya pemerintahan dari Soekarno ke
Soeharto pada tahun 1965.Bahkan Pengadilan Landreform pun akhirnya dihapuskan
dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1970 tentang Penghapusan Pengadilan
Landreform. Pemerintah baru ini mempunyai kebijakan yang sama sekali lain,
sehingga untuk jangka waktu yang cukup lama UUPA masuk peti es, sedangkan
kebutuhan agraria di sektor lain mendesak, maka lahirlah pada masa awal orde
baru berbagai undang-undang pokok lain yang kemudian membuat tumpang tindih dan
rancunya masalah pertanahan.[4]
Untuk menarik minat para investor, pemerintah mulai membuat beberapa
regulasi untuk membuka peluang eksplorasi tanah dan sumber daya alam di
Indonesia. Sebagai langkah awal untuk memikat investor asing, tahun 1967
Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) diberlakukan, selanjutnya lahir
Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dan
Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketnetuan Pokok Pertambangan
serta berbagai undang-undang sektoral lain tentang minyak-gas dan pengairan.[5]
Kebijakan pemerintah orde baru ini lebih fokus hanya kepada pembangunan
dengan penguasaan tanah secara besar-besaran oleh negara untuk dieksplorasi dan
dieksploitasi oleh para investor yang bermodal besar,namun hak-hak dari
masyarakat atas tanah jadi terlupakan. Ternyata undang-undang tersebut tidak
menjadikan UUPA sebagai basisnya, regulasi-regulasi ini pun tumpang tindih dan
inkonsisten satu sama lain.[6] Dengan makin rumitnya masalah
pertanahan dan makin besarnya keperluan akan ketertiban di dalam pengelolaan
pertanahan, makin dirasakan keperluan akan adanya peraturan pelaksanaan UUPA
yang menerapkan ketentuan lebih lanjut mengenai hak-hak atas tanah.
Sebagai hak atas tanah yang masa berlakunya terbatas untuk jangka waktu
tertentu (hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai), hak-hak tersebut
memerlukan kejelasan mengenai beberapa hal antara lain mengenai persyaratan
perolehannya, kewenangan dan kewajiban pemegangnya, dan status tanah dan
benda-benda di atasnya sesudah hak itu habis jangka waktunya. Kejelasan itu
sangat diperlukan untuk memberikan beberapa kepastian hukum, baik kepada
pemegang hak, kepada pemerintah sebagai pelaksana UUPA, maupun kepada pihak ketiga.[7]
Beberapa peraturan pun mulai dibentuk untuk mengatur pelaksanaan
perundang-undangan tentang pertnahan sebagai objek dasar agraria seperti
Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, Peraturan Menteri Negara Agraria / BPN No.
5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat, Peraturan Menteri Negara Agraria / BPN No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara
Pemberian dan Perolehan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, Peraturan
BPN No. 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan
Kegiatan Pendaftaran Tanah, dan sebagainya. Perjalanan UUPA selanjutnya terus
diiringi dengan penerbitan perundang-undangan yang merupakan perluasan dari urusan
keagrariaan di Indonesia, antara lain:
Seperti halnya
yang terjadi di berbagai negara mengenai perbandingan Hukum Agraria Indonesia dengan Negara
Lain,
DENMARK
Di sebagian besar Daerah
Denmark tanah di dunia
biasanya "dimiliki" oleh beberapa manusia. Baik dengan individu atau
oleh orang-orang di komunitas atau, misalnya oleh badan hukum yang dimiliki
oleh pemegang saham. Latar belakang hukum untuk kepemilikan mungkin hukum adat
tidak tertulis atau hukum yang diberikan oleh kepala keluarga, kepala
desa/kabupaten/negara atau oleh Parlemen. Kepemilikan mungkin memberikan tepat
bagi pemilik untuk mendapatkan keuntungan dari tanah (dan barang-barang nya)
total atau sebagian. Pemilik menjual tanah atau bagian dari itu, menjual atau
menyewakan beberapa nyata atau berwujud hak di atasnya (misalnya berburu,
gravelling, pandangan dll) dan hipotek. Tindakan mungkin dibatasi sampai batas
tertentu mengenai minat masyarakat.
Tradisi dan aturan jual beli tanah mungkin disebabkan oleh alam,
struktur industri, standar sosial, dan kepadatan penduduk. Namun, di sebagian
besar negara maju pasar yang disebut gratis untuk tanah tergantung pada ketat
peraturan dan pembatasan pada bagaimana tanah harus digunakan. Lebih lanjut
tergantung pada masyarakat tersedia informasi dari kadaster, Registry Tanah,
informasi penilaian, informasi mengenai bangunan dan lansekap dan perbankan
berjalan mulus dan pembiayaan systemPasar tanah di Denmark
Daerah Denmark adalah 43.080 km2 dengan jumlah penduduk 5,3 juta jiwa.
Sekitar 65 per persen dari wilayah diternakkan dan 12 persen ditutupi dengan
hutan. Daerah yang tersisa dari 23 persen digunakan untuk jalan dan daerah
perkotaan. Beberapa 48 persen dari Denmark tinggal di kota atau permukiman
perkotaan dan kepadatan penduduk rata-rata 125 orang per km2.
Para peserta di pasar membutuhkan akses publik terhadap informasi dari
kadaster dan Tanah Buku (paket nomor unik, tata batas, nama pemilik, alamat,
ukuran daerah, hipotek, perbuatan, easements dan mantan harga jual). Juga,
masyarakat dan dapat diandalkan informasi mengenai bangunan dan tempat tinggal
yang penting serta publik yang tidak valid informasi tentang penilaian tanah.
Akhirnya akses ke modal dan perbankan berjalan mulus dan sistem pembiayaan yang
diperlukan. Hampir semua informasi ofthis kini dalam bentuk digital. Bersama
instrumen ini memberikan fakta dan kejelasan bagi pembeli serta penjual dan
seharusnya untuk mencegah perselisihan antara kedua belah pihak. Karena itu
seharusnya bahwa sejumlah besar kasus dihindari untuk pengadilanProperti yang
ada dan kepemilikan dapat dibeli dan dijual bebas dengan beberapa pengecualian
(khusus ketentuan untuk cottage musim panas dan penduduk Denmark rokok,
pembatasan pembelian lahan pertanian dll), sedangkan penjualan bagian properti
dan kepemilikan dikendalikan oleh ketentuan Undang-Undang pembagian Out.
Undang-Undang pembagian Out memastikan properti untuk diidentifikasi
secara jelas dan terdaftar. Ketika bagian dari sebuah properti dijual,
digadaikan atau disewakan secara terpisah selama lebih dari 30 tahun, bagian
ini harus dibagi. Ketentuan pembagian keluar mencakup semua kontrol publik
mengenai tujuan dari penggunaan lahan. Tukang kredit (bank, lembaga keuangan,
individu) menemukan jaminan dasar nya dipendaftaran di kadaster dan Buku Tanah,
yang menjaga properti nyata terhadap pihak ketiga klaim hak. Pemilik menemukan
jaminan dasar dalam Konstitusi dan lainnya Undang-Undang yang melindungi
kepemilikan Serta swasta seperti industri publik memainkan peran penting dalam
pasar tanah. Secara umum industri masyarakat mengumpulkan informasi dan
menghasilkan fakta (data) untuk digunakan di bagian lain dari administrasi
publik atau untuk digunakan oleh konseling pribadi oleh Agen Real Estate,
pengacara, surveyor dll industri swasta dalam penasihat umum untuk individu
yang ingin menjual dan membeli tanah dan mengelola pasar tanah. Cukup beberapa
spesialis dan otoritas publik bermain bagian dalam pasar tanah, tetapi dalam
mengikuti paling penting disebutkan.
Perlu diperhatikan, bahwa sistem notaris tidak ada di Denmark. Swasta
industri:
1.Agen real estate mempublikasikan properti untuk dijual atas nama
pemilik individu. Mereka bertindak pada ketentuan dalam Undang-Undang
Perdagangan Real Properti. Mereka diwajibkan untuk menyediakan informasi kepada
calon pembeli mengenai properti dan barang-barang nya (bangunan, hutan dll).
Informasi harus menganggap saran bagaimana untuk membiayai properti, dan adalah
tugas untuk menghasilkan informasi yang menyatakan apakah ada kebocoran atau
dll membusuk di dalam gedung. Karena liberalisasi di agen real estat
Undang-Undang dalam beberapa tahun terakhir semakin lengkap perbuatan, yang
mereka pada zaman dulu secara hukum dilarang. Agen real estate tidak
dimonopoli. Orang bebas untuk mengatur properti perdagangan sendiri. Ada 3.877
nyata estate agent perusahaan mempekerjakan 13.282 orang (1996-angka).
2.Pengacara terutama terlihat setelah kepentingan hukum dan pembeli/atau
penjual dengan menyelesaikan perbuatan. Mereka berurusan dengan kepentingan
mortgagees dan sering mengurus pembiayaan situasi dan bekerja sama dengan
surveyor berlisensi dan agen real estate, ketika Situasi menuntut spesialis,
misalnya dengan pembagian. Akhirnya mereka kebanyakan membawa akta untuk akhir
pendaftaran di kantor Badan Pertanahan. Adapun agen real estate, pengacara
tidak dimonopoli di bidang menjual atau membeli properti yang nyata, perbuatan
menyelesaikan dan mendaftarkan mereka. Ada 1.663 pengacara swasta perusahaan di
Denmark dengan 11.338 karyawan. (1996 - angka).
Bertentangan dengan agen real estate dan pengacara, surveyor berlisensi
yang dimonopoli di bidangnya kerja dengan subdivisi, pengalihan lahan dari satu
ke yang lain memegang, penggabungan sifat dan demarkasi batas-batas persil.
Monopoli dinyatakan dalam Undang-Undang Subbagian dan pendaftaran tanah dan
selanjutnya diatur dalam Undang-Undang tentang Surveyor kualifikasi, tugas dan
tanggung jawab. Izin diberikan oleh Menteri Perumahan ke surveyor yang telah
menyelesaikan gelar lima tahun sebagai M.Sc. dalam Survei dan Kadastral Ilmu pengetahuan,
dan yang lebih jauh lagi bekerja dengan surveyor berlisensi dalam praktek
pribadi selama tiga tahun. Dalam bidang pekerjaan kadaster, orang wajib
mengajukan permohonan, misalnya pembagian dan perubahan batas-batas properti di
surveyor berlisensi. Surveyor melaksanakan diperlukan hukum survei dan
mempersiapkan dokumen yang diperlukan untuk pengajuan aplikasi ke Survei
Nasional dan kadaster untuk memperbarui kadaster. Ada sekitar 160 swasta
lisensi perusahaan survei dengan 1000 karyawan. (1997-angka).
Otoritas publik dan industri Survei Nasional dan kadaster adalah lembaga
negara di Departemen Perumahan dan Bangunan. Hal ini terpusat di Kopenhagen dan
berjalan dan update kadaster nasional (Pendaftaran dan peta). Selain itu
menyediakan masyarakat dengan peta topografi dan grafik laut Kadaster ini
diperbarui berdasarkan surveyor informasi pribadi dari dana berlisensi. Itu
Tanah Registry dan administrasi Kota disediakan dengan update sehari-hari
mendaftarkan informasi dari kadaster, misalnya mengenai jumlah paket baru dan
wilayah mereka atau mengubah daerah. Serta register sebagai peta kadaster
sepenuhnya digital. Semua orang termasuk surveyor pribadi memiliki akses ke
register dan peta. Sebuah layanan Internetmemungkinkan Anda untuk mendapatkan
informasi yang diberikan bahwa Anda berlangganan akses.
Registry Tanah terdesentralisasi ke pengadilan setempat. Berjalan
Registry tanah dan pembaruan Buku Tanah atas dasar fromlawyers informasi,
Survei Nasional dan kadaster, real estate agen, bank, keuangan asosiasi dan
individu. Pendaftaran Tanah pasokan.Sama dengan pihak diperbarui, informasi
yang valid dari nama pemilik, easements dan hipotek pada setiap properti
tunggal. Dari tahun 2000 Kitab Land akan sepenuhnya didigitalkan. Ada 100
pengadilan setempat menjaga Buku Tanah, Sekitar 40 Buku Tanah lokal atau 60%
dari sifat riil total yang didigitalkan pada akhir tahun 1997. Informasi dijual
dari Database Buku Tanah secara langsung atau melalui internet yang disediakan
salah satu berlangganan akses.
Para Administrasi di County menyimpan catatan mengenai lubang kerikil,
informasi lanskap, sumber daya air, limbah tempat pembuangan dll Luasnya
informasi digital berbeda dari daerah ke daerah. Informasi yang tersedia untuk
umum.
Para Kota terus register mengenai harga penjualan setiap properti dan
menahan, penilaian properti, dan daftar bangunan dan tempat tinggal. Informasi
penjualan berasal dari penjualan deklarasi bahwa setiap pembeli properti harus
tunduk kepada kota berwenang, yang menyatakan harga penjualan, rincian tentang
pembayaran dan sifat transfer (Pasar penjualan terbuka, warisan, transfer
keluarga, lelang). Akta tersebut tidak dapat didaftarkan di Tanah Pesan kecuali
jika dibuktikan bahwa deklarasi penjualan telah lulus otoritas kota.
Tujuan dari Daftar Penilaian adalah untuk merekam penilaian
masing-masing pada properti tunggal dan oleh yang membantu pemerintah dalam
menghitung dan mengumpulkan pajak properti, dan memberikan informasi kepada
konsultan. Isi mendaftar informasi mengenai identifikasi properti (nomor
kadaster dan nomor properti), luas tanah tiap bidang dan Selanjutnya semua
hasil dari penilaian masing-masing. Bea Cukai Pusat dan Administrasi pajak
Departemen Perpajakan mengatur pedoman untuk pemeliharaan register.
Register Bangunan dan Dwelling didirikan pada tahun 1977-1979 dan
terdiri dari informasi pada tiga tingkat pendaftaran:
Sistem hukum dan peraturan yang mendukung pasar
Ketentuan untuk membeli dan menjual tanah banyak berbeda antara jenis
tanah tertentu. Mereka adalah alasan historis dalam hubungan dekat dengan
kebijakan industri. Mengenai ketentuan penjualan dan perolehan tanah tampaknya
masuk akal untuk berkonsentrasi pada tiga jenis tanah:
Bagian utama dari tanah di Denmark adalah nilai pertanian yang tinggi.
Hal ini tercermin dalam Kenyataan bahwa hampir 65 persen dari total areal
pertanian digunakan. Mayoritas di Parlemen selalu memiliki pendapat mendasar
bagi perlindungan akses dengan kepemilikan lahan pertanian. Selain itu ada
aturan alasan historis dan peraturan yang tepat untuk petani menggabungkan
peternakan dan pertanian. Ini adalah tujuan politik yang mendasar di Denmark
untuk menyeimbangkan jumlah pertanian kecil dan besar, untuk membatasi total
luas pertanian tunggal dan untuk membatasi jumlah dan total luas pertanian yang
petani individu diperbolehkan untuk tumbuh.
Adalah normal bahwa peternakan dalam freehold dan petani selain sering
memiliki satu atau dua peternakan atau bidang lahan pertanian di prasarana.
Pembatasan jual beli (dan budidaya) lahan pertanian tidak di tangan pertama
berdasarkan kemampuan kualitas tanah sebagai tanah untuk pertanian. Pembatasan
didasarkan pada apakah holding yang terdaftar sebagai pertanian holding di
kadaster. Sebagian besar lahan pertanian yang terdaftar sebagai kepemilikan
pertanian di kadaster, tetapi masih tetap ada beberapa bagian lahan pertanian
yang tidak termasuk dalam pendaftaran. Potongan-potongan tanah dapat dijual
bebas, kecuali preemption untuk Departemen Pangan, Pertanian dan Perikanan
terdaftar dalam Buku Tanah.
2.lahan untuk perumahan (dan industri)
Di daerah pedesaan dewan di County terutama bertanggung jawab untuk juga
perlindungan alam dan lingkungan, sebagai pengembangan industri pedesaan
(misalnya pertanian dan eksploitasi bahan baku). Sebuah rencana daerah terdiri
dari kerangka yang paling penting dan membentuk dasar untuk mengelola ketentuan
tentang pelestarian alam dan perlindungan pantai, danau, saluran air, hutan dan
monumen kuno. Obyek untuk Dewan Negara adalah untuk menghindari bangunan yang
tidak terkendali dan konstruksi dalam pedesaan. Ini adalah aturan dasar, bahwa
pedesaan harus disediakan untuk bangunan dan diperlukan untuk pertanian,
kehutanan dan perikanan konstruksi. Kepemilikan, penggunaan dan ukuran
kepemilikan pertanian yang dikelola oleh Komisi Pertanian setempat. Lahan untuk
perumahan dan cottage musim panas Seperti di banyak negara lain, pembangunan
perkotaan dipercepat antara tahun 1945 dan pertengahanTahun 1980-an. Kabupaten
besar baru diciptakan di luar pusat kota bersejarah. Ini perkotaan kabupaten yang
mencakup daerah pemukiman dan komersial, sekarang mencakup 75 persen dari
mengembangkan lahan kota dan menutupi separuh penduduk Denmark.
Lahan untuk perumahan dikelola oleh sistem perencanaan tata ruang. Isi
dari perencanaan adalah menentukan dalam setiap keputusan perencanaan, termasuk
di mana dan apa yang dapat membangun, di mana jalan harus berada dan di mana
kualitas perkotaan yang ada atau lanskap yang harus dilindungi. Itu
sistem perencanaan tata ruang didasarkan pada prinsip kontrol kerangka
kerja, untuk menghindari kontradiksi antara rencana disusun berdasarkan satu
tingkat administrasi dan rencana disusun atas mengikuti tingkat administrasi.
Tingkat negara (Kementerian Lingkungan Hidup dan Energi) menyediakan
perencanaan nasional yang hanya bertujuan untuk memastikan bahwa sudut pandang
pemerintah pusat dan arahan yang dimasukkan dalam perencanaan tata ruang,
misalnya Uni Eropa arahan. Dewan daerah mempersiapkan dan mengelola perencanaan
daerah. Rencana daerah memberikan arahan untuk membimbing pembangunan di
daerah, terutama di luar daerah perkotaan dalam jangka waktu 12 tahun. Di Bawah
dari hirarki perencanaan yang menemukan rencana kota dan rencana lokal
disiapkan dan diadopsi oleh dewan kota. Rencana kota menentukan umum struktur
kotamadya dan menciptakan kerangka kerja untuk perencanaan lokal. The lokal
rencana mempertimbangkan peraturan rinci di daerah tertentu dari kota dan pada
individu properti mengenai pembangunan sekarang dan masa depan daerah. Dengan
pembagian keluar Undang-Undang pembagian Out memastikan pemerintah kota untuk
terlibat dan hal pertimbangan mengenai pertanyaan lingkungan, akses jalan dan
lain-lain
3.lahan untuk cottage musim panas
Area untuk cottage musim panas adalah bagian dari obyek perencanaan kota
dan dikelola oleh Rencana lokal. Rumah hunian yang ada bisa tanpa izin
digunakan sebagai rumah musim panas, sedangkan perubahan berlawanan menuntut
izin dari Dewan Negara. Pemilik cottage musim panas terbatas untuk membiarkan
rumah mereka untuk maksimal satu tahun dan perusahaan tidak diizinkan untuk
memperoleh lahan untuk cottage musim panas, kecuali izin khusus dari dana
Menteri Lingkungan Hidup dan Energi. Kecuali untuk pendek-termholiday
penggunaan, dll, tinggal di musim panas-pondok-daerah yang tidak dapat
digunakan untuk overnighting dari 1 Oktober hingga 31 Maret, kecuali hunian itu
digunakan sebagai tempat tinggal permanen ketika daerah ditetapkan sebagai
musim panas wilayah pondok. Ada beberapa pengecualian bagi orang-orang
pensiunan yang ingin hidup dalam mereka musim panas pondok sepanjang tahun.
Kasus sering dibawa untuk pengadilan oleh pemilik cottage musim panas, dalam
rangka untuk mempengaruhi prinsip hukum ke arah yang lebih liberal.
Dalam hal keanggotaan Denmark dari Uni Eropa, kecuali telah dibuat untuk
orang asing akuisisi real properti (tanah, rumah dan kondominium). Individu
atau perusahaan tidak terdaftar sebagai penduduk tetap di Denmark setidaknya
untuk jangka waktu lima tahun, hanya diperbolehkan untuk membeli properti riil
pada izin dari Menteri Kehakiman Ada pengecualian mengenai tinggal tetap bagi
warga negara dari anggota lainnya negara Uni Eropa atau EEA, yang dipekerjakan
secara sah di Denmark, atau yang membangun sendiri perusahaan di Denmark.
Pengecualian tidak memahami cottage musim panas.
Peran Registry Tanah dan kadaster
The kadaster Kadaster Denmark berasal dari hasil gerakan kandang, dan
didirikan pada tahun 1844. Sejak awal, kadaster terdiri dari dua bagian: The
kadasteral mendaftar dan peta kadaster, Kedua komponen telah diperbarui terus
sejak itu. Sebagai hasil dari gerakan kandang, masyarakat feodal mantan diubah
menjadi masyarakat yang didasarkan pada kepemilikan pribadi atas tanah. Bahkan
jika tujuan utama dari kadaster adalah untuk memungut pajak tanah, identifikasi
kadaster juga digunakan untuk mendukung kepemilikan tanah dan lahan sistem
transfer. Seiring waktu kadaster Denmark telah berubah frombeing terutama dasar
untuk penilaian tanah untuk kadaster hukum yang mendukung pasar tanah yang
efisien.
Ketentuan utama dalam Undang-Undang Subbagian dan Pendaftaran Tanah
adalah ofthe kewajiban pemilik tanah untuk diterapkan ke surveyor
berlisensi.Penerapan diperlukan untuk memulai proses yang mengarah pada
pembaharuan kadaster setiap kali bagian dari real properti adalah baik dijual,
menggadaikan atau disewakan untuk jangka waktu lama (30 tahun). Ketentuan ini
harus dipenuhi utama karena kebutuhan dan manfaat dari pemilik tanah untuk
mendapatkan hak-hak hukum kepemilikan dan hipotek dijamin melalui pendaftaran
dalam Buku Tanah. Oleh karena itu, pembagian harus dilakukan melalui sebelum
pendaftaran dari perbuatan judul untuk bidang tanah menjadi bagian dari
properti. Ini bidang tanah tersebut kemudian diidentifikasi sebagai sifat
individu dalam kadaster mendaftar. Interaksi antara sistem kadaster dan Buku
Tanah telah terbukti pada dasarnya aman dan efektif. Kadaster terdiri dari
empat elemen:
Tidak ada sistem notaris hadir di Denmark. Registry Land Act menyatakan
bahwa hukum hak kepemilikan dan hipotek harus didaftarkan di Buku Tanah harus
diamankan terhadap hak-hak pihak ketiga. Juga, dinyatakan bahwa hukum hak-hak
kepemilikan dan hipotek harus mencakup total luas properti untuk menjamin hak
prioritas, misalnya dengan penjualan paksa. Buku Tanah didasarkan pada
identifikasi kadaster. Setiap properti memiliki neraca yang menunjukkan
informasi kadaster (nomor kadaster (s) dan daerah), sebuah nama pemilik tanah
dan informasi tentang hipotek dan easements.
Lahan terpadu di Denmark Pengelolaan lahan di Denmark diatur sebagai
jaringan subsistem interaktif berisi informasi yang digunakan sangat sering.
Misalnya kadaster dan registri Tanah ditempatkan di dua kementerian, dua
database terpisah dan dijalankan oleh dua sangat berbeda organisasi. Untuk
tujuan pasar tanah suatu hubungan otomatis antara subsistem yang dicapai,
dengan mendirikan Register "Referensi Silang yang berisi kunci semua
identifikasi dalam setiap subsistem (misalnya nomor paket kadaster, bangunan
nomor, alamat pos) dan referensi silang antara identifikasi. Karena itu adalah
mungkin untuk mendapatkan semua informasi yang tersedia pada properti tertentu
atau bangunan oleh hanya mengetahui salah satu kunci. Selain itu,
identifikasi-kunci bertujuan untuk dihubungkan ke elemen fisik yang relevan
terwakili dalam peta, misalnya paket, bangunan. Unik Link ada, misalnya antara
Register Parcel, Peta Kadastral Digital, Registry Tanah, dan Bangunan dan
Dwelling Daftar disebabkan oleh jumlah paket kadaster. Selanjutnya ada link
antara Bangunan dan Daftar Tempat Tinggal dan Tengah Populasi Daftar karena alamat
pos unik dari bangunan. Dengan menghubungkan satu set X, Y-koordinat dan dengan
demikian membuat daftar geo-kode alamat, seharusnya mungkin untuk menghubungkan
setiap informasi alamat terkait ke database peta, yang akan membuat serbaguna
Informasi alat untuk keperluan analisis dan administrasi.
AMERIKA
Di Indonesia ,kewenangan Negara
dalam pengambilalihan hak atas tanah untuk kepentingan umum diderivasikan dari
Hak Menguasai Negara. Sedangkan di
Amerika Serikat yang bersumber pada eminent domain, dimana Negara (pemegang
kedaulatan) diyakini memiliki kewenangan tersebut secara inheren. Dan meskipun kedua prinsip ini dipercaya
telah menderivasikan (dan memberikan—di Amerika Serikat) kewenangan tersebut,
tetapi secara filosofis-historis kedua prinsip ini berbeda. Hak Menguasai
Negara adalah prinsip yang justru lahir untuk menghapus prinsip domein Negara
yang menjadi landasan filosofis dari eminent domain.
HMN memberikan kewenangan
pengaturan dan penyelenggaraan bagi Negara. Dan dalam perkecualian untuk
kepentingan umum, baru dapat mengambilalih hak atas tanah rakyat. Sedangkan
eminent domain dianggap sebagai kekuasaan yang inheren dalam sebuah kekuasaan
Negara (kedaulatan), dan menempatkan Negara sebagai “individu” yang dapat
melakukan hubungan hukum sebagaimana individu (orang). Sehingga logika berpikir
dalam eminent domain ini adalah bahwa karena Negara tidak memiliki semua tanah
maka Negara harus membayar kompensasi jika Negara memerlukan tanah milik rakyat
untuk penyelenggaraan kepentingan umum tersebut
Berbeda dengan Hak Menguasai Negara yang dalam UUPA menempatkan Negara
sebagai personifikasi seluruh rakyat
untuk mengatur, menyelenggarakan peruntukkan, mengatur dan menentukan hubungan
rakyat dan tanah, tetapi hanya bersifat hukum publik.
Menurut asas ini, Negara tidak dapat memiliki tanah sebagaimana
perseorangan, meskipun Negara dapat menguasai tanah Negara. Prinsip ini harus
ditafsirkan sebagai peran Negara, yaitu sebagai wasit yang adil yang menentukan
aturan main yang ditaati oleh semua pihak dan bahwa Negara juga tunduk pada
peraturan yang dibuatnya sendiri ketika turut berperan sebagai actor.
Penerapan eminent domain di Amerika Serikat yang menganut
kapitalisme-liberalisme dimana kebebasan dan persaingan usaha dijunjung tinggi,
sejak semula telah memberi peluang sebesar-besarnya kepada swasta atau
perseorangan untuk memiliki tanah dan mengusahakannya. Sedangkan secara
historis, HMN lahir untuk menghapus asas domein negara yang telah diterapkan
kolonialis untuk memanfaatkan demi kepentingannya dan menjualnya kepada swasta
dan partikelir konsep fungsi sosial hak atas tanah yang juga menjadi legitimasi
Negara dalam pengambilalihan hak atas tanah untuk kepentingan umum ini
di
Indonesia : bahwa fungsi sosial hak atas tanah dianggap inheren dalam hukum
adat yang berlaku.
Di AS :
konsep ini lahir sebagai kontrol sosial terhadap kemutlakan dari pemilikan
individu.
Pembelajaran yang
diterapkan dalam kelas menggunakan Mind Mapping, sangat bisa membantu mahasiswa
dalam mengolah suatu materi yang sedang berlangsung didalam agraria.Mahasiswa
dituntut untuk menguasai permasalahan agraria disajikan
dalam bentuk skema yang memiliki hubungan sebab akibat dan saling berpengaruh.
Metode belajar dengan mind mapping ini mampu meningkatkan analisis dan berfikir
kritis siswa sehingga memahami sesuatu secara keseluruhan dari awal sampai
akhir.
Dari hal tersebut kita bisa mengetahui persoalan-
persoalan agrariadari mulai Zaman Indonesia Kuno sampai dengan zaman Setelah
kemerdekan dengan metodeproblem based
learning, sebagai
salah
contoh tentang bagaimana pemerolehan tanah baru dalam masyarakat adat yaitu
dengan meminta izin kepada ketua adat , membuat pernyataan
kepada khalayak umum bahwa tanah tsb
tanah miliknya dan pernyataan
pernyataan lain mengenai agraria. Kita juga bisa mengetahui teori pemilikan tanah
berdasarkan hukum adat adalah tanah merupakan milik komunal atau persekutuan
hukum (beschikkingsrecht). Dalam hal ini setiap anggota persekutuan
dapat mengerjakan tanah dengan jalan membuka tanah terlebih dahulu dan jika
mereka mengerjakan tanah tersebut secara terus-menerus maka tanah tersebut
dapat menjadi hak milik secara individual. Perbedaan juga kita dapat ketahui dari Negara lain
yang menggunakan hukum agraria ditempat mereka. Persoalan kepemilikan tanah dan
pengelolaan tanah yang salah menimbulkan sislsilah kepemilikan yang berujung
kepada penindasan hak milik rakyat Indonesia.
[1]A.Anugrahni. “Hak Milik Atas Tanah Masa Kerajaan di Nusantara”,
https://ngobrolinhukum.wordpress.com/2013/03/03/hak-milik-atas-tanah-masa-kerajaan-di-nusantara/,
diakses pada tanggal 18 Oktober 2018
[2] A. Ridwan Halim,
Hukum Agraria Dalam Tanya Jawab, Jakarta: Ghalia Indonesia, Cetakan ke-2 1988,
hlm. 27
No comments:
Post a Comment